Rabu, 26 November 2008

konvergensi media-capital

Konsep Dasar Capital Producing Journalism

Pada era sekarang kita tidak dapat lagi memandang media massa hanya dalam pandangan Ilmu Komunikasi saja, yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu alat penyampai pesan saat proses ‘tukar-menukar’ pesan terjadi antara komunikator dan komunikan. Pendekatan Capital Producing Journalism, menggunakan perspektif atau cara pandang ekonomi politik untuk menelaah media massa, dalam hal ini komunikator adalah para praktisi media massa, sedangkan komunikan adalah audience (pembaca koran, pemirsa televisi, pendengar radio). Hal yang paling menakjubkan, bahwa audience sebagai komunikan, bukan saja dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari berita, tetapi lebih difungsikan selayaknya konsumen yang sedang berada dipasar bisnis media massa, yang pola kehidupannya bisa mengatur dan diatur oleh isi berita dalam media massa dan dapat pula ‘dipenetrasi’ dengan sebegitu rupa oleh media massa melalui isi berita yang disajikan.

Secara ikhwal, yang berkaitan dengan berita merupakan masalah sentral dalam kehidupan jurnalistik. Anggapan awal bahwa pembaca ‘berani’ membayar untuk sebuah berita, bahwa semakin tinggi sebuah nilai berita, maka semakin besar kemungkinan dibaca khalayak pembacanya, menjadikan industri media massa berkembang pesat. Media massa dianggap sebagai produsen, sedangkan pembaca dianggap sebagai konsumen. Dan tentu saja sebagai produsen dengan pesaing-pesaing yang sama hebatnya, maka media massa harus mempunyai kekuatan atas pergerakan teknologi informasi dan padat modal, sehingga berimbas pada Capital Producing Journalism, sedangkan Kajian Ekonomi-politik pers malah menganggap bahwa dengan Capital Producing Journalism institusi pers dapat memiliki kekuatan penekan (Pressure group) yang otonom atas kebijakan-kebijakan politik. Kenyataan yang dapat dikaitkan dengan hal ini, misalnya, pengawasan pers yang dilakukan oleh rezim Orba. Dibawah sistem politik yang pemerintahannya menjalankan sistem pers kekuasaan, pers tidak leluasa menjalankan kebebasannya. Untuk mempertahankan kekuasaan rezim, berita-berita yang dimuat di media haruslah seirama dengan kebijakan- kebijakan rezim yang berkuasa. Secara ideal seharusnya tidak boleh terjadi ada kepentingan diluar pers yang ikut mempengaruhi apa yang diberitakan oleh media atau mempengaruhi berita yang telah dikumpulkan secara obyektif oleh wartawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu banyak kekuatan besar yang senantiasa berusaha mempengaruhi pemberitaan yang ada dalam media massa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau rezim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, denyut nadi tubuh media massa adalah iklan. Dengan iklan yang banyak, maka semua teknologi informasi dapat segera dikuasai, sehingga mereka juga dengan cepat akan ‘menguasai’ bahkan meng-create selera pasar bahkan trend pada audience sebagai konsumen. Unsur inilah yang biasanya menjadi pengekang utama kebebasan pers. Bagaimana sebuah institusi pers harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bisnis dengan orientasi profit sebagai pemasang iklan yang menjadi penopang kelangsungan hidup media bersangkutan.

Tak seorangpun akan percaya bahwa kepemilikan atas media tidak pernah mewarnai pemilihan berita[1]. Sebuah fakta yang kemudian disodorkan lebih lanjut, pada sebuah surat kabar di Amerika Selatan yang sebagian besar dimiliki oleh kepentingan perusahaan kereta api pernah mengumumkan pada staff-nya bahwa berita tentang kereta api yang “keluar”dari rel-nya bukanlah sebuah berita bagi koran setempat, sedangkan sikap masa’ bodoh pemerintah atas keadaan buruh dan desakan menggunakan ruangan di surat kabar bagi kepentingan pribadi dan kepentingan institusional hampir bersifat umum dalam pers Amerika. Sedangkan di Indonesia dapat dilihat dari struktur kerja pemberitaan, dimana sebuah tim redaksi juga “merangkap” sebagai tim marketing. Hal ini mengindikasikan bahwa Capital Producing Journalism telah melahirkan sebuah pemahaman baru yang meletakkan komunikator dan komunikan dalam media massa bukan saja dilpandang sebagai penyaji berita dan penerima berita, tetapi dipandang sebgai produsen dan konsumen, yang tentu saja berimbas pada Money Oriented, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi kelayakan berita dan kebebasan pers.

Konvergensi Media; sebuah wajah Capital Producing Journalism; Implikasi implementasi bisnis dalam Industri Pers

Menurut Bill Gates[2], koran atau media cetak lainnya masih merupakan bisnis yang menarik. Tetapi, jika pebisnis media cetak tidak jeli menyikapi kemajuan teknologi dan perubahan minat masyarakat, kiamat bisnis ini sudah di pelupuk mata. "Koran selalu dikirimkan (kepada pembaca) sebagai satu bundel dari hal yang bermacam-macam -berita nasional, internasional, hingga lokal, iklan produk ternama, iklan baris, dan lainnya. Sebenarnya, berbagai hal itu secara logika, tidak bisa disatukan di dalam satu bundel bernama koran. Kenapa pembaca harus menggunakan sumber yang sama untuk mendapatkan informasi tentang perang Irak dan informasi tentang mobil bekas?" kata Gates. Kalimat yang dituturkan Gates, membuat seorang wartawan LA Times yang hadir di sebuah pertemuan, Jonathan Weber, tercengang. Weber memahami pikiran Gates bahwa masyarakat dari hari ke hari mulai berubah menjadi konsumen informasi yang menginginkan sesutu yang spesifik. Semakin lama, masyarakat semakin jenuh dengan format koran yang menghimpun segala macam informasi dalam satu bundel kertas. Masyarakat mencari media lain dengan informasi yang lebih spesifik. Enam belas tahun kemudian, Weber sudah tidak lagi menjadi wartawan LA Times. Dia sekarang seorang pemilik sekaligus Pemimpin Redaksi NewWest.net, media online yang beroperasi menyediakan informasi untuk wilayah Rocky Montain West.

Telaahnya adalah apa yang dikatakan oleh Bill Gates di pertemuan dewan redaksi itu, sebenarnya sama dengan apa yang dipikirkan oleh praktisi media di era itu. Mereka melihat bisnis media tidak akan berumur panjang, jika hanya mengandalkan satu jenis medium saja. Keinginan masyarakat semakin sulit dibaca, gempuran teknologi informasi telah mengubah pola konsumsi informasi. Dari pemikiran itu, kemudian terformulasi satu ide yang disebut convergent media atau lebih spesifik lagi untuk kalangan jurnalis: convergent journalism.

Salah satu definisi yang tepat menggambarkan convergent journalism adalah yang dirumuskan oleh Geoff LoCicero[3]. Menurutnya "convergent journalism brings together all media types (essentially print, online, broadcast and mobile), ideally to better deliver the news by relying on the strengths of each medium and sharing and reworking content" Dalam definisi ini, perusahaan media yang akan melakukan konvergensi setidaknya harus memiliki tiga medium (cetak, broadcast, dan online) yang beroperasi secara berjaringan, saling berbagi dalam informasi, dan menyajikannya di masing-masing medium itu. Di Indonesia, sudah sejak lama konsep convergent media ini diterapkan. Hampir dipastikan, setiap koran, radio, atau stasiun televisi besar di negeri ini memiliki situs online yang bisa diakses setiap saat. tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah pola convergence seperti itu telah memenuhi kebutuhan konsumen informasi di negeri ini? Belum tentu. Kita bisa melihat, perusahaan yang memiliki tiga medium yang berlainan itu, belum banyak memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Berita yang tercetak koran masih sama dengan yang ditampilkan di media online. Media online banyak yang belum difungsikan sebagai tempat untuk meng-up date informasi terbaru, sementara media broadcast seperti radio dan televisi masih berjalan sendiri, belum saling melengkapi. Seharusnya, koran difungsikan sebagai tempat untuk laporan yang sifatnya mendalam, dan update dilakukan oleh online dan broadcast, begitu seterusnya. Sehingga, medium yang ada tidak mubazir dengan menampilkan informasi yang melulu sama.

Saat ini, mungkin belum banyak konsumen informasi yang menuntut hal itu. Tapi esok lusa, ketika mereka semakin membutuhkan informasi yang cepat tapi komprehensif, tuntutan itu akan datang dengan bertubi-tubi. Sekali perusahaan media gagal memenuhinya, konsumen akan meninggalkannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, secepat apa pun perubahan tren pasar, prinsip jurnalisme tidak boleh diabaikan. Tuntutan akan kecepatan informasi bukan berarti media dan wartawan bisa abai terhadap akurasi dan kedalaman berita.

Sebuah konvergensi media sebagai wajah Capital Producing Journalism, menggambarkan bahwa sebuah industri media akan bisa bertahan, jika ia dapat menuruti selera konsumen. Bukan saja soal berita yang selalu up to date tetapi juga tren yang akan disajikan oleh media massa. Sedangkan teknologi informasi hanya bisa didapat dengan penerapan Capital Producing Journalism ini, sebab teknologi informasi dan sumber daya pemberitaan juga tidak memiliki harga yang murah. Hal ini tidak akan dapat dihindari oleh media massa, bahkan sebagi institusi bisnis, institusi pers juga dituntut untuk mampu mengkristalisasi bisnis mediannya. Dan yang patut dipertanggungjawabkan adalah independensi berita untuk khalayak sebagai haknya, karena telah mengeluarkan dana.

DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrat, Hikmat; Kusumanisngrat Purnama. 2005. JURNALISTIK Teori dan Praktik. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung

Severin. J Werner dan Tankard W, James.2001.TEORI KOMUNIKASI; sejarah, metode, dan terapan dalam media massa. Kencana. Jakarta

Sumber Lain :

www.blogspot.com; Artikel berjudul Tantangan Media Massa ditulis oleh Zaki Yamani, seorang wartawan "PR" dan mahasiswa Master of Arts in Journalism, Ateneo de Manila University, Filipina.



[1] Pendapat Hikmat Kussumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang berprofesi sebagai wartawan senior dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2005;95)

[2] Sebuah cerita dalam Artikel berjudul Tantangan Media Massa ditulis oleh Zaki Yamani, wartawan "PR" dan mahasiswa Master of Arts in Journalism, Ateneo de Manila University, Filipina. Dipublikasikan di www.blogspot.com ; Juni 2007

[3] Severin. J Werner dan Tankard W, James dalam bukunya” TEORI KOMUNIKASI; sejarah, metode, dan terapan dalam media massa” (2005; hal 433)

Senin, 24 November 2008

DENDAM

Sesak...

Penat...

Seperti hujaman sembilu

Pedih...

Tak daya kuusir lalu

Di dalam sini...

Getar mengguncang

Aku tak bisa diam

Tak enggan aku melawan

Karena dendam sudah membatu!!

Sungguh!!

Aku tak akan beranjak

Sampai kupastikan..

Mereka mati di tanganku!

(nyitz; 20 Aug 07. Dipersembahkan untuk pelaku-pelaku kekerasan pada perempuan & anak)

GUNDAH

Ceritakan

Apa yang menjadi sendumu

Jangan simpan dan genggam

Setiap kegusaramu

Bilik hati ini teramat lebar

Untuk sekedar hempaskan kepingan rasa

Kau pria hebat, sayang..

Dan aku,

Bukan perempuan biasa

Jadi,

Bertuturlah..

Berujarah..

Karena aku tercipta dari tulang rusukmu...

(nyitz; 17 Aug 07 )

OUR JOURNEY

Hari ini…

Petualangan benar-benar telah dimulai

Seperti perahu melaju

Kan ada hangat pagi…Ada elok senja

Kan ada pula gelombang pasang

Menderu badai

Bersamamu di tengah samudera

Aku tak takut

Karena aku yakin

Tak akan ada cinta tulus dan kuat

Seperti punyamu…


tentang kamu...

Pada rembulan yang sembunyi aku merayu..

Agar ia tak enggan temani

Tapi ia tak kunjung wujudkan rupa...

Hingga mataku sayu oleh malam

Riak rindu yang menggebu, sentuh lembut sanubari...

Mungkin kekasih sedang memimpikanku malam ini

Duhai bayu... bisikan namaku di telinganya...

(nyitz;13 juni ’07)

Seperti lembut sutera pada kulit perempuan

Serupa pancar redup cenayang yang tenang

Lusuh rupaku pun tak lekas suram

Yang kurasa layaknya gemuruh guntur tersamarkan awan

Menjelma dalam dada....

Aku melemah saat kudapati ciumanmu

Lembut di bibirku...

(nyitz; 10 Juni 07)

Buih sejuk dari hujaman air dingin pada batu kapar

Menerpa wajahku...

Hembus angin bukit yang lintasi gemerisik pinus

Menghantam punggungku...

Aliran bening memaku kaki dan jemariku

Meski permukaannya biaskan cahaya tiga warna...

Pria itu terus di sisi lenganku

Rautnya segar, senyumnya riang.

Ia terus dengungkan rindunya untukku.

Dan..perempuan itu...

Membungkam sedinhya pada air beku dan hawa dingin.

Duduk mematung berpermadani batu terjal

Lalu yang kuamati hanya punggungnya

Punggung yang kuyu...

Sementara dalam deru air baja...

Pria itu terus memanggilku

......

(nyitz; 3 juni 2007)

Minggu, 23 November 2008

BAGAIMANA LAJANG?


ada haru menila seluruh ketenanganku

sekepal bahagia terseok hadir di penatku

mestinya bagaimana?

Senang?

Susah?

Bahagia?

Atau...Sedih?

Jika esok pagi, aku tak lagi lajang...

(nyitz; 31 Okt 07@ 11.30 mlm)

Sabtu, 22 November 2008

Capital Producing Journalism; Inovasi

1. Proposisi dan Asumsi-asumsi Teoritik Inovasi

Perubahan-perubahan sosial selalu dipengaruhi oleh hal-hal baru di masyarakat yang menciptakan suatu keadaan yang berbeda dengan keadaaan sebelumnya dalam sistem sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sebuah sistem sosial sebagai suatu kesatuan. Sesuatu yang baru yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat itu selalu berhubungan dengan difusi inovasi, dimana perubahan dipacu oleh penyebaran suatu pengetahuan yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam proses inovasi terjadi kegiatan mengkomunikasikan pengetahuan baru di masyarakat. Menurut Rogers (1983;10)[1], mengatakan bahwa ada 4 unsur yang selalu ada dalam difusi inovasi, yaitu (1) Inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) Waktu, dan (4) sistem sosial. Keempat unsur ini berlangsung dalam sistem yang simultan, dimana masing-masing sistem itu berhubungan satu dengan lainnya selama proses difusi inovasi itu berlangsung.

Inovasi berkaitan dengan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang dan masyarakatnya. Konsep baru ini terbentang antara konsep pengenalan, persuasi, dan keputusan menggunakan inovasi tersebut.

Difusi inovasi juga berhubungan dengan rentang waktu yang berlalu selama difusi inovasi berlangsung. Difusi inovasi berlangsung pada sistem sosial sudah mulai terbuka dengan ide-ide baru, paling tidak ditandai dengan perubahan wawasan, pandangan, sikap, dan baru masuk pada perubahan perilaku

Menurut Ritzer (1996;241)[2], informasi yang diperoleh individu dari lingkungannya yang lebih luas menghasilkan ebergi yang luar biasa untuk membuat seseorang berubah. Inovasi dimulai dengan pengenalan terhadap sebuah infromasi. Ciri pengenalan tergantung pada kharakteristik ciri sosial-ekonomi, ciri kepribadian, dan perilaku komunikannya. Individu yang ciri sosial-ekonominua lebih baik akan lebih mudah mengenal obyek-obyek inovasi. Individu memiliki kepribadian perilaku komunikasi yang cenderung lebih banyak mengetahui obyek-obyek inovasi secara transparan dan lebih banyak. Mengenal obyek inovasi menjadi syarat ia memasuki tahap persuasi, dimana dalam tahap ini ia membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi.

  1. Konseptualisasi Capital Producing Journalism

Pada era sekarang kita tidak dapat lagi memandang media massa hanya dalam pandangan Ilmu Komunikasi saja, yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu alat penyampai pesan saat proses ‘tukar-menukar’ pesan terjadi antara komunikator dan komunikan. Pendekatan Capital Producing Journalism, menggunakan perspektif atau cara pandang ekonomi politik untuk menelaah media massa, dalam hal ini komunikator adalah para praktisi media massa, sedangkan komunikan adalah audience (pembaca koran, pemirsa televisi, pendengar radio). Hal yang paling menakjubkan, bahwa audience sebagai komunikan, bukan saja dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari berita, tetapi lebih difungsikan selayaknya konsumen yang sedang berada dipasar bisnis media massa, yang pola kehidupannya bisa mengatur dan diatur oleh isi berita dalam media massa dan dapat pula ‘dipenetrasi’ dengan sebegitu rupa oleh media massa melalui isi berita yang disajikan.

Secara ikhwal, yang berkaitan dengan berita merupakan masalah sentral dalam kehidupan jurnalistik. Anggapan awal bahwa pembaca ‘berani’ membayar untuk sebuah berita, bahwa semakin tinggi sebuah nilai berita, maka semakin besar kemungkinan dibaca khalayak pembacanya, menjadikan industri media massa berkembang pesat. Media massa dianggap sebagai produsen, sedangkan pembaca dianggap sebagai konsumen. Dan tentu saja sebagai produsen dengan pesaing-pesaing yang sama hebatnya, maka media massa harus mempunyai kekuatan atas pergerakan teknologi informasi dan padat modal, sehingga berimbas pada Capital Producing Journalism, sedangkan Kajian Ekonomi-politik pers malah menganggap bahwa dengan Capital Producing Journalism institusi pers dapat memiliki kekuatan penekan (Pressure group) yang otonom atas kebijakan-kebijakan politik. Kenyataan yang dapat dikaitkan dengan hal ini, misalnya, pengawasan pers yang dilakukan oleh rezim Orba. Dibawah sistem politik yang pemerintahannya menjalankan sistem pers kekuasaan, pers tidak leluasa menjalankan kebebasannya. Untuk mempertahankan kekuasaan rezim, berita-berita yang dimuat di media haruslah seirama dengan kebijakan- kebijakan rezim yang berkuasa. Secara ideal seharusnya tidak boleh terjadi ada kepentingan diluar pers yang ikut mempengaruhi apa yang diberitakan oleh media atau mempengaruhi berita yang telah dikumpulkan secara obyektif oleh wartawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu banyak kekuatan besar yang senantiasa berusaha mempengaruhi pemberitaan yang ada dalam media massa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau rezim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, denyut nadi tubuh media massa adalah iklan. Dengan iklan yang banyak, maka semua teknologi informasi dapat segera dikuasai, sehingga mereka juga dengan cepat akan ‘menguasai’ bahkan meng-create selera pasar bahkan trend pada audience sebagai konsumen. Unsur inilah yang biasanya menjadi pengekang utama kebebasan pers. Bagaimana sebuah institusi pers harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bisnis dengan orientasi profit sebagai pemasang iklan yang menjadi penopang kelangsungan hidup media bersangkutan.

Tak seorangpun akan percaya bahwa kepemilikan atas media tidak pernah mewarnai pemilihan berita[3]. Sebuah fakta yang kemudian disodorkan lebih lanjut, pada sebuah surat kabar di Amerika Selatan yang sebagian besar dimiliki oleh kepentingan perusahaan kereta api pernah mengumumkan pada staff-nya bahwa berita tentang kereta api yang “keluar”dari rel-nya bukanlah sebuah berita bagi koran setempat, sedangkan sikap masa’ bodoh pemerintah atas keadaan buruh dan desakan menggunakan ruangan di surat kabar bagi kepentingan pribadi dan kepentingan institusional hampir bersifat umum dalam pers Amerika. Sedangkan di Indonesia dapat dilihat dari struktur kerja pemberitaan, dimana sebuah tim redaksi juga “merangkap” sebagai tim marketing. Hal ini mengindikasikan bahwa Capital Producing Journalism telah melahirkan sebuah pemahaman baru yang meletakkan komunikator dan komunikan dalam media massa bukan saja dilpandang sebagai penyaji berita dan penerima berita, tetapi dipandang sebgai produsen dan konsumen, yang tentu saja berimbas pada Money Oriented, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi kelayakan berita dan kebebasan pers.

3. Implikasi-implikasi Teoritik

Dengan adanya perkembangan teknologi dan berbagai inovasi dalam industri media, khususnya pada televisi dapat mengubaha tatanan masyarakat yang irasional menjadi rasional, tetapi kemudian dibalikkan lagi menjadi irasional dengan memberikan suguhan berupa acara yang berimplikasi pada munculnya sebuah realitas buatan. Meskipun terpaan realitas buatan karena konstruksi teknologi media ini tidak hanya pada masyarakat yang buta huruf, tetapi juga pada masyarakat yang sudah melek media.

Dengan acuan berbagai invensi dan inovasi yang ada dalam industri media, sehingga dapat kita katakan bahwa siapapun yang bisa berinvestasi, maka ia akan menajdi kuat dan bertahan. Hal ini menjadikan perubahan tatanan fungsi jurnalisme menjadi Capital Producing Journalism, sehingga tidak dapat dihincari juga adanya sebuah kristalisasi industri media, dan hal ini berimplikasi pada adanya sikap saling “menjegal” pada industri tersebut, adanya kompetisi, aliansi, sigergasi, kode etik yang dilindas, persaingan wartawan yang ketat, dan semakin kapitalisnya hubungan antara perusahaan industri media tersebut dengan pengiklan.

Daftar Pustaka :

- Bungin Burhan, Prof,Dr. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. 2006. Kencana. Jakarta

Kusumaningra Hikmat, Purnama., Jurnalistik : Teori dan Praktek. 2005. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung


[1] Burhan bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Mayarakat, Hal 150

[2] Ibid, hal 153.

[3] Pendapat Hikmat Kussumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang berprofesi sebagai wartawan senior dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2005;95)

Iklan bedak "Pigeon "dengan telaah semiotika

A. Semiotika

Kata Van Zoest[1], manusia adalah homo semioticus. Artinya, manusia mampu membuat tanda dengan memberitahukan sesuatu, menyepakati makna dari sesuatu, apa saja, sebagai tanda.

Doede Nauta[2], menganggap semiotika (bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin ilmu yang paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia menganggap sistem konseptual signal-sign-symbol disatu sisi, dengan syntactics-semantics-pragmatics di lain pihak sebagai hal yang sangat penting dalam proses informasi, karena sistem ini berasal dari semiotika. Tanda-tanda adalah dasar dari seluruh komunikasi. Dengan perantara tanda-tanda manusia bisa melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Dalam kajian semiotika komunikasi, menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor: (1) pengirim, (2) penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan)[3]. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika atau menurut Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana humanity memaknai things. Memaknai tidak dapat diartikan sebagai mengkomunikasikan, karena memaknai dalam hal ini berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, ketika obyek-obyek tersebut masuk dalam proses komunikasi, tetapi juga mengkonsistusi sistem terstruktur dari tanda didalamnnya. Tanda, menandakan sesuatu selain tanda itu sendiri, dan makna merupakan hubungan satu objek atau ide suatu tanda.

B. Semiologi Roland Barthes.

Menurut Barthes[4], hal yang ingin dicari dalam pendekatan semiotika bukan lagi esensi atau objek pada dirinya sendiri (tanda) itu, melainkan hanya simulacrum dari obyek yang kita teliti. Dari obyek kita tidak bisa mendapat atau melakukan apa-apa, kecuali jika kita melakukan simulasi sedemikian rupa, sehingga kita bisa menjelaskan mengapa obyek dapat kita sebut sebagai obyek. Barthes melihat juga proses pemaknaan dalam obyek yang sedang kita periksa, sehingga obyek menjadi obyek. Sesuatu menjadi obyek bagi seseorang, karena sesuatu itu mempunyai makna bagi seseorang itu. Hubungan orang itu dengan obyek adalah hubungan pemaknaan, obyek tidak lagi dilihat sebagai Gegen-Stand (yang-berdiri-berhadapan).

Dalam pembahasan tentang tanda, Barthes mulai dengan pernyataan Saussurean bahwa signifier dan signified adalah komponen-komponen tanda. Barthes melakukan pembedaan trikotomis tentang tanda, hal ini berbeda dengan pembedaan dikotomis yang dilakukan oleh para linguis sebelum Saussure.

Signification dan Sign. “The signification can be conceived as a process; it is the act which binds the signifier and the signified, an act whose product is the sign” kata Barthes[5].Menurut Barthes signification adalah “hal menunjuk“ signifier pada signified. Dari pendapatnya diatas dapat diketahui bahwa, dia tidak menekankan aspek aktif dari signifier dalam menunjuk signified, ( karena ia lebih memilih netral “binds” (bukan “signifies” atau “act”), melainkan hubungan aktif dari keduanya. Dalam semiologi konsep signification ini perlu diingat karena dalam mencari fungsi dari sistem signifikasi, kadang-kadang kita harus mencari signified, karena signifier belum jelas, demikian pula sebaliknya. Dalam sistem konotasi, seorang harus mencari signified, karena signifier sudah diketahui. Dalam analisis semiotik, kita mencari berbagai hubungan yang menyatukan antara signifieds dan signifiers

John Fiske menyatakan bahwa pokok perhatian semiotika adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara-cara tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Searah dengan Barthes, semiotika mempunyai tiga bidang studi utama[6], yaitu:

  1. Tanda itu sendiri, Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia menggunakannya.
  2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup berbagai cara kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.
  3. Kebudayaan tempat kode itu bekerja.

Ini pada giliranya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain kehidupan sosial apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula [7]

Seperti yang telah dijelaskan di atas, suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu obyek atau ide dan tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, bentuk-bentuk non verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. [8]

Dalam semiotika penerima dan pembaca dipandang memainkan peran yang lebih aktif. Semiotika lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk “penerima” karena hal tersebut secara tak langsung menunujukan derajat aktifitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Karena itu pembacaan ditentukan oleh pengalaman cultural, sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut.[9]

Menurut Alex Sobur, semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar dari tata bahasa dan sintaksis yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal itu kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (Connotaive) dan arti penunjukan (denotative), Kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. [10]

Menurut Barthes, tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif, tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[11]

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum, serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makan harafiah, makna yang “sesungguhnya”, Bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi dan acuan.

Akan tetapi dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna[12]. Signifikasi tingkat pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap relitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan persaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi merupakan makna yang subyektif atau paling tidak inter subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. [13]

Dalam kerangka Roland Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan atau memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tingkat kedua.

Mitos adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin menjadi obyek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan, yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu.[14]

C. Elemen-elemen dalam Iklan

1. Teks (Tampilan Visual Iklan)

Gambar

Iklan Produk Kosmetik Bedak “Pigeon”

Titik sentral yang paling menonjol dari iklan produk kecantikan berupa bedak ini, sama dengan iklan-iklan produk kosmetika wajah yang lain, yakni wajah perempuan belia cantik, kulit putih mulus dan cerah, tanpa terlihat noda, jerawat bahkan tahi lalat. Mata lebar nan bening, alis tebal melengkung rapi, hidung mancung, dan bibir tipis yang sedang tersenyum. Riasan terkesan natural, tidak begitu menor atau mencolok, warna lipstik, eye shadow, dan blush on juga berwarna kalem. Matanya berbinar. Mulutnya tersenyum tipis, tidak begitu lebar. Rambut model digerai biasa, namun terlihat sedikit ada sentuhan bentukan rambut dengan model masa kini. Diatas rambut juga terdapat banyak sekali kelopak bunga mawar berwarna picth. Riasan rambut dengan kelopak bunga mawar bertebaran ini menambah kesan yang tidak lagi biasa, atau sedikit mewah.

Aksesoris yang dipakai berupa jepit pada tengah rambut berupa angka 12, anting pada telinga sebelah kanan berupa angka 9, anting pada telinga sebelah kiri berupa angka 3. Dan memakai kalung berliontinkan angka 6. Angle foto close up sebatas dada. Model tidak terlihat mengenakan atasan, sehingga terlihat lehernya yang jenjang.

Warna dasar dari gambar adalah putih bersih , dibingkai pada sisi atas dan bawah dengan warna merah. Pada bingkai bawah yang berwarna merah dituliskan pula simbol produk dan alamat produsen bedak ini.

2. Keyword/ Slogan

Tagline-nya bertuliskan ‘PRETTY BABE ANYTIME!”, dibawahnya dituliskan text “Dengan formula seaman bedak bayi, biarkan cantikmu bersemi. Piegon Compact Powder (ditulis dengan Bold) menjaga kecantikan dan kelembutan kulitmu. Tampilkan pesona kulit cantikmu, secantik wajah beliamu”. Menegaskan kembali bahwa produk kosmetik merk Pigeon ini awalnya adalah kosmetik/ bedak bayi, dan sekarang memproduksi sebuah produk kosmetik berupa bedak yang aman digunakan oleh kulit-kulit muda belia.

D. Intepretasi Iklan Kosmetik Bedak “Pigeon”

Umumnya, perempuan dalam iklan kosmetik direpresentasikan berwajah cantik, apalagi di Indonesia yang masyarakatnya sangat menyukai wajah perempuan yang berkulit kuning langsat dan putih. Makna yang ingin dikesankan dalam iklan ini adalah perempuan harus terlihat cantik dan segar setiap saat. Mulai dari simbol-simbol angka 12,3,6,9, yang berurutan “diletakkan” pada jepit rambut, anting ditelinga sebelah kiri, liontin kalung, dan anting pada telinga sebelah kanan. Tanda-tanda melalui “angka-angka” dan posisi yang dipilih pada gambar mengesankan angka-angka yang ditunjuk oleh jarum jam. Angka-angka yang terdapat dalam jam ditafsirkan sebagai “waktu yang terus berjalan” seperti jarum jam yang tak pernah berhenti berdetak, yang kemudian, jika digabungkan dengan riasan yang serba natural, khas perempuan belia, begitu juga dengan slogannya “Pretty Babe Anytime!” juga dapat ditafsirkan sebagai “kecantikan perempuan belia di setiap saat.”. Berdasarkan semiotika Barthes, hal ini mengesankan mitos bahwa seorang perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit wajah yang putih bersih, tidak bernoda, tidak berkerut, tampil cantik dan menawan setiap saat, sehingga sangat menarik perhatian. Meskipun kecantikan bersifat sangat subyektif pada masing-masing individu, tetapi jika terdapat wajah muda, tanpa kerut, berkulit putih mulus tanpa noda dan segar, semua orang pasti akan mengkonotasikannya sebagai perempuan yang berwajah cantik.

Padahal perempuan yang tidak memiliki kriteria tersebut di atas, belum tentu sebagai perempuan yang cantik dan tidak menawan. Jarang sekali dalam iklan produk kosmetik dengan model seorang perempuan yang merepresentasikan keelokan hatinya misalnya saja, diambil angle foto seorang perempuan yang sedang menolong anak kecil yang jatuh dari sepeda, sehingga akan mengesankan bahwa “melihat” perempuan dengan konotasi cantik, bukan hanya dari fisiknya saja, tetapi juga kepribadiannya. Hal seperti inilah kadang-kadang yang membuat bias dalam masyarakat.

Citra yang selalu ingin ditonjolkan dalam iklan cetak sebuah produk kosmetik dengan sasaran tembak masyarakat di Indonesia, yang sebagian besar berkulit sawo matang, dan menyenangi kulit kuning langsat dan putih mulus (berbeda dengan masyarakat amerika latin, misalnya, yang beranggapan bahwa wanita dengan kulit kecoklatan terlihat lebih seksi dan menarik), sehingga Urusan rasial dalam iklan kosmetik memang seperti telah menjadi “icon” yang sulit untuk ditumbangkan. Memandang citra iklan kosmetika selalu berada pada gagasan ras, terutama hitam/ putih. Iklan produk ini memang seolah-olah ingin menjual “mimpi” pada khalayaknya.

Iklan ini juga terkesan sangat sederhana, karena space yang digunakan tidak terlalu ramai dan tidak banyak meletakkan elemen-elemen grafis. Sangat konsisten dengan “kesederhanaan” tata rias wajah model. Terdapat juga warna merah dibagian atas dan bawah, seolah-olah membingkai gambar, didalam “bingkai merah” tersebut tertera tulisan Pigeon beserta logonya., seolah-olah mengesankan daya tarik tersendiri, karena warna yang menyala terang. Background yang ada dalam iklan ini hanya berupa warna putih, dapat dimaknai sebagai dinding, seakan-akan mengesankan warna putih bersih seperti kulit perempuan belia dan tentu saja tujuan dari pemakaian alat kosmetik ini untuk mendapatkan kulit putih, muda setiap saat.


[1] Dalam buku Alex Sobur “Semiotika Komunikasi”; 2003, hal 13

[2] Ibid

[3] Jakobson (dalam Sobur; 2003 hal 15)

[4] Dalam “Semiotika Negativa” karya ST. Sunardi, 2002; hal 45

[5] Ibid, hal 49

[6] Dalam buku Cultural and Communication Studies, John Fiske; 2004, hal 60

[7] Dalam buku “Semiotika Roland Barthes” oleh Kurniawan, 2001:53

[8] Ibid, 2003: 15-16

[9] Ibid, 2004: 61

[10] Ibid, 2003: 126-127

[11] Ibid, 2003: 69

[12] Ibid, 2003: 70

[13] Ibid, 2002: 128

[14] Ibid 2001: 84

Jumat, 21 November 2008

"Cerita ini untukmu, Ndaru, anakku. Jika kelak kau bersanding dengan seorang perempuan, maka ingatlah cerita ini, agar kau tahu bahwa perempuan adalah keajaiaban, kekuatan, dan cinta...hargailah mereka yang luar biasa!"


Malang, 1 Agustus 2008 @ jam 03.27 pagi...

Malam tadi aku rasakan dingin yang luar biasa. Gerakkanmu tidak sehebat kemarin anakku. Gerakanmu sedikit tetapi cukup kuat, hingga kurasakan kepalamu mulai menyendul tulang dibawah rahimku... ku belai dirimu, meski hanya lewat dinding perutku, kamu pun kembali tenang, seolah tertidur... tapi sebentar kemudian kau menyendul lagi, aku belai lagi.. menyendul lagi.. aku belai lagi.. begitu seterusnya tiada henti... hingga..

Aku merasa ada yang meleleh keluar melalui lubang vagina-ku. Hangat.. yah..inilah yang namanya air ketuban..ada bercak merah sedikit. Aku yakin ini bukan hanya sekedar air kencing.. mulai kurasakan perutku mulas.

Ayahmu tidak berada disamping Bunda waktu itu, nak. Karena ayah harus tugas di luar kota. Bunda sendirian... sudah biasa...

Tas yang telah lama kuisi dengan segala benda yang kupersiapkan untukmu, aku angkat pelan, sembari menelepon supir taksi untuk mengantarku segera kerumah sakit.

Mulas..kian merajam perutku.

Lengang..begitulah ketika aku memasuki koridor rumah sakit dengan langkah pelan. Terlihat seorang suster dengan gugup membawakanku kursi roda, setengah berlari ia..

“Mau melahirkan ya, bu? Naik saja di sini!” perintahnya

“Tidak. Saya masih kuat”

Ruang bersalin, nampak seperti penjara baru bagiku. Ada tempat tiduk berjejer empat, satu telah terisi oleh seorang perempuan muda. Merintih pelan... sakit sekali rupanya.

Ada yang berdesir di rongga dada-ku.. ngeri, takut. Seperti apakah yang perempuan itu rasakan, hingga airmata dan keringatnya mengucur deras. Aku pandangi saja ia, namun kemudian suster itu menutup kelambu hingga menghalagi mataku.

Kurebahkan tubuhku... perut semakin mulas. Tapi aku masih bisa tahan.

“Mari saya periksa ya bu?” tanya suster

“Silahkan...”

.......

“Pembukaan dua, Bu”

......

Aku menunggu..lamaaaa...

Ayahmu pun tidak kunjung tiba...

Bunda sendirian...Lagi-lagi...

Jam 15.24 Ruang Bersalin

Ada yang membuka kelambu. Suster itu.

“Bu, ada dokter akan memeriksa”

.....

“Bu, air ketubannya pecah di bagian atas, merembes sampai bawah, jadi pembukaannya tidak bertambah, solusinya di-drib atau operasi saja”

“didrib dulu saja dok, saya ingin melahirkan normal, saya akan berusaha”

.....

Dan Ayahmu belum datang juga...

Cairan infus dimasukkan melalui pergelangan tangan kiriku.

Dan Ndaru, anakku... perjuangan dengan maut pun mulai Bunda hadapi.

Sakit itu luar biasa, tidak berhenti, mendatangiku setiap jengkal nafas...

Aku hanya menarik nafas panjang dan perlahan kuhembuskan, ku sebut nama Tuhan berkali-kali, mohon ampun...

Ayahmu datang...

Masih mengenakan baju dinas, wajahnya sayu, tegang, letih..

Digenggamnya tanganku..

“Yang kuat yah...” begitu katanya.

Aku genggam tangannya erat. Bebanku mulai sedikit ringan.

Ku tutup mataku ketika rasa sakit itu datang...

Kadang sedikit aku buka, agar Ayahmu tidak kawatir.

Wajahnya tegang sekali....

“Apa kamu masih kuat?” tanyanya

“masih...”

“aku tidak tega melihatmu begini”

“iyah..memang harus begini”

“berjuanglah...”

Delapan jam berlalu, pembukaannya masih pada tingkat yang sama dan semakin lama, terasa kaki paha hingga pinggangku kesemutan... sakit sekali nak.

Hingga..akhirnya kulihat semua pandanganku memutih..kabur..

“kenapa? Kamu pucat sekali, seperti tidak ada darah mengalir di wajahmu” suara ayahmu pelan kudengar, semakin kencang tangannya menggengam tanganku yang semakin terkulai lemas..

“aku panggil suster yah?” suaranya ikut mengabur..

“terserah...”

“tahan yah...”

‘he-eh...”

...................

Banyak bayangan putih melintas di atas-ku, entah yang mana malaikat Allah, entah yang mana penolongku.... ku coba memperjelas pandangan.. makin putih...

Ku gigit bibirku sekuatnya..nafasku serasa tinggal setengah...

Kali ini suara yang mengabur...tidak ada yang terdengar jelas...semakin samar..

.....................

Kubuka mata, ada yang terasa sejuk mengalir di rongga hidungku..ruangan itu terasa begitu dingin...ada sebuah lampu besar diatas kepalaku, pandangaku silau...

“Sudah bangun...?” Ayahmu masih setia di sampingku

“He-eh. Aku kenapa? Dimana ini?”

“Ruang operasi. Operasi saja yah?, nanti ketubannya keburu habis”

“Nggak bisa normal yah?”

“Sudah kamu coba kan?...tapi dokter bilang kondisinya tidak memungkinkan. Aku mohon, yank. Ini demi anak kita dan kamu”

“Baik.. akan ku lakukan apapun”

“Terima kasih sayang...”

Ruang operasi, 22.00

Dingin...

“Punggungnya ditekuk sedikit bu, akan saya suntikan obat bius-nya. Lokal kok” Seorang dokter anastesi memerintahkanku membungkuk. Mendekap bantal.

Sekejap kemudian, terasa sedikit nyeri di antara ruas tulang belakangku, kemudian kaki terasa hangat dan menebal

“Berbaring saja yah bu... rileks” kata dokter tadi

Aku berbaring.... suster-suster itu memasangkan selang oksigen pada rongga hidungku, yang lainnya memasang kateter.

“Berdo’a bu. Kita mulai yah...”

“Iyah dok...”

Dokter kandungan dan asistennya mulai merobek dinding perutku pada bagian bawah, tepat pada tekukan perut. Badanku digoncangnya. Tak sakit.. kurasakan ada yang mengalir hangat keluar lewat vaginaku... dan.....

Kamu menangis, anakku, Andaru.

Menangis keras, seakan kau beritakan ke seluruh dunia, bahwa kau telah lahir, kau yang akan menjaga ayah-bunda mu kelak.

“selamat bu, anaknya laki-laki”

Tubuhmu kecil, berwarna ungu, dibawa seorang suster untuk di mandikan.Akhirnya setelah 9 bulan menyimpanmu rapi dalam rahimku yang hangat... Aku melihatmu untuk pertama kali... Air mataku deras mengucur. Inilah keajaiban. Aku benar-benar seorang perempuan, yang melahirkan seorang laki-laki. Aku, ibumu, nak. Yang kelak akan meneteskan setiap peluh kasih sayang..demi kamu.. Laki-laki kecilku, tempatku menggantungkan asa setinggi bintang. ALFITRASYAH ANDARU RADYA, anugrah Allah yang aku dan ayahmu harapkan bisa menjadi ‘Bintang Negara’, membawa kebaikan bagi agama, orangtua, manusia, dan negara.

...................................

“Beratnya 3 kg bu, sehat” kata suster itu

Direbahkannya pelan tubuh mungilmu yang dingin pada tubuhku yang telanjang. Kita seperti di surga anakku, meski aku tak pernah melihat surga, tapi aku yakin, dadaku yang penuh dengan cairan air susu, mulai kau cari dengan mulut mungilmu, makanan pertama-mu di bumi...dari dalam tubuhku anakku..

Aku peluk kamu...erat.. sejenak tangismu diam. Kemudian suster itu mengangkatmu lagi...

“biar di-adzan-i dulu, ya bu”

Suster itu membawamu keluar ruangan, tangismu makin keras...

Lalu aku tertidur pulas...lega... tak sabar bertemu kau esok pagi.