Rabu, 26 November 2008

konvergensi media-capital

Konsep Dasar Capital Producing Journalism

Pada era sekarang kita tidak dapat lagi memandang media massa hanya dalam pandangan Ilmu Komunikasi saja, yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu alat penyampai pesan saat proses ‘tukar-menukar’ pesan terjadi antara komunikator dan komunikan. Pendekatan Capital Producing Journalism, menggunakan perspektif atau cara pandang ekonomi politik untuk menelaah media massa, dalam hal ini komunikator adalah para praktisi media massa, sedangkan komunikan adalah audience (pembaca koran, pemirsa televisi, pendengar radio). Hal yang paling menakjubkan, bahwa audience sebagai komunikan, bukan saja dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari berita, tetapi lebih difungsikan selayaknya konsumen yang sedang berada dipasar bisnis media massa, yang pola kehidupannya bisa mengatur dan diatur oleh isi berita dalam media massa dan dapat pula ‘dipenetrasi’ dengan sebegitu rupa oleh media massa melalui isi berita yang disajikan.

Secara ikhwal, yang berkaitan dengan berita merupakan masalah sentral dalam kehidupan jurnalistik. Anggapan awal bahwa pembaca ‘berani’ membayar untuk sebuah berita, bahwa semakin tinggi sebuah nilai berita, maka semakin besar kemungkinan dibaca khalayak pembacanya, menjadikan industri media massa berkembang pesat. Media massa dianggap sebagai produsen, sedangkan pembaca dianggap sebagai konsumen. Dan tentu saja sebagai produsen dengan pesaing-pesaing yang sama hebatnya, maka media massa harus mempunyai kekuatan atas pergerakan teknologi informasi dan padat modal, sehingga berimbas pada Capital Producing Journalism, sedangkan Kajian Ekonomi-politik pers malah menganggap bahwa dengan Capital Producing Journalism institusi pers dapat memiliki kekuatan penekan (Pressure group) yang otonom atas kebijakan-kebijakan politik. Kenyataan yang dapat dikaitkan dengan hal ini, misalnya, pengawasan pers yang dilakukan oleh rezim Orba. Dibawah sistem politik yang pemerintahannya menjalankan sistem pers kekuasaan, pers tidak leluasa menjalankan kebebasannya. Untuk mempertahankan kekuasaan rezim, berita-berita yang dimuat di media haruslah seirama dengan kebijakan- kebijakan rezim yang berkuasa. Secara ideal seharusnya tidak boleh terjadi ada kepentingan diluar pers yang ikut mempengaruhi apa yang diberitakan oleh media atau mempengaruhi berita yang telah dikumpulkan secara obyektif oleh wartawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu banyak kekuatan besar yang senantiasa berusaha mempengaruhi pemberitaan yang ada dalam media massa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau rezim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, denyut nadi tubuh media massa adalah iklan. Dengan iklan yang banyak, maka semua teknologi informasi dapat segera dikuasai, sehingga mereka juga dengan cepat akan ‘menguasai’ bahkan meng-create selera pasar bahkan trend pada audience sebagai konsumen. Unsur inilah yang biasanya menjadi pengekang utama kebebasan pers. Bagaimana sebuah institusi pers harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bisnis dengan orientasi profit sebagai pemasang iklan yang menjadi penopang kelangsungan hidup media bersangkutan.

Tak seorangpun akan percaya bahwa kepemilikan atas media tidak pernah mewarnai pemilihan berita[1]. Sebuah fakta yang kemudian disodorkan lebih lanjut, pada sebuah surat kabar di Amerika Selatan yang sebagian besar dimiliki oleh kepentingan perusahaan kereta api pernah mengumumkan pada staff-nya bahwa berita tentang kereta api yang “keluar”dari rel-nya bukanlah sebuah berita bagi koran setempat, sedangkan sikap masa’ bodoh pemerintah atas keadaan buruh dan desakan menggunakan ruangan di surat kabar bagi kepentingan pribadi dan kepentingan institusional hampir bersifat umum dalam pers Amerika. Sedangkan di Indonesia dapat dilihat dari struktur kerja pemberitaan, dimana sebuah tim redaksi juga “merangkap” sebagai tim marketing. Hal ini mengindikasikan bahwa Capital Producing Journalism telah melahirkan sebuah pemahaman baru yang meletakkan komunikator dan komunikan dalam media massa bukan saja dilpandang sebagai penyaji berita dan penerima berita, tetapi dipandang sebgai produsen dan konsumen, yang tentu saja berimbas pada Money Oriented, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi kelayakan berita dan kebebasan pers.

Konvergensi Media; sebuah wajah Capital Producing Journalism; Implikasi implementasi bisnis dalam Industri Pers

Menurut Bill Gates[2], koran atau media cetak lainnya masih merupakan bisnis yang menarik. Tetapi, jika pebisnis media cetak tidak jeli menyikapi kemajuan teknologi dan perubahan minat masyarakat, kiamat bisnis ini sudah di pelupuk mata. "Koran selalu dikirimkan (kepada pembaca) sebagai satu bundel dari hal yang bermacam-macam -berita nasional, internasional, hingga lokal, iklan produk ternama, iklan baris, dan lainnya. Sebenarnya, berbagai hal itu secara logika, tidak bisa disatukan di dalam satu bundel bernama koran. Kenapa pembaca harus menggunakan sumber yang sama untuk mendapatkan informasi tentang perang Irak dan informasi tentang mobil bekas?" kata Gates. Kalimat yang dituturkan Gates, membuat seorang wartawan LA Times yang hadir di sebuah pertemuan, Jonathan Weber, tercengang. Weber memahami pikiran Gates bahwa masyarakat dari hari ke hari mulai berubah menjadi konsumen informasi yang menginginkan sesutu yang spesifik. Semakin lama, masyarakat semakin jenuh dengan format koran yang menghimpun segala macam informasi dalam satu bundel kertas. Masyarakat mencari media lain dengan informasi yang lebih spesifik. Enam belas tahun kemudian, Weber sudah tidak lagi menjadi wartawan LA Times. Dia sekarang seorang pemilik sekaligus Pemimpin Redaksi NewWest.net, media online yang beroperasi menyediakan informasi untuk wilayah Rocky Montain West.

Telaahnya adalah apa yang dikatakan oleh Bill Gates di pertemuan dewan redaksi itu, sebenarnya sama dengan apa yang dipikirkan oleh praktisi media di era itu. Mereka melihat bisnis media tidak akan berumur panjang, jika hanya mengandalkan satu jenis medium saja. Keinginan masyarakat semakin sulit dibaca, gempuran teknologi informasi telah mengubah pola konsumsi informasi. Dari pemikiran itu, kemudian terformulasi satu ide yang disebut convergent media atau lebih spesifik lagi untuk kalangan jurnalis: convergent journalism.

Salah satu definisi yang tepat menggambarkan convergent journalism adalah yang dirumuskan oleh Geoff LoCicero[3]. Menurutnya "convergent journalism brings together all media types (essentially print, online, broadcast and mobile), ideally to better deliver the news by relying on the strengths of each medium and sharing and reworking content" Dalam definisi ini, perusahaan media yang akan melakukan konvergensi setidaknya harus memiliki tiga medium (cetak, broadcast, dan online) yang beroperasi secara berjaringan, saling berbagi dalam informasi, dan menyajikannya di masing-masing medium itu. Di Indonesia, sudah sejak lama konsep convergent media ini diterapkan. Hampir dipastikan, setiap koran, radio, atau stasiun televisi besar di negeri ini memiliki situs online yang bisa diakses setiap saat. tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah pola convergence seperti itu telah memenuhi kebutuhan konsumen informasi di negeri ini? Belum tentu. Kita bisa melihat, perusahaan yang memiliki tiga medium yang berlainan itu, belum banyak memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Berita yang tercetak koran masih sama dengan yang ditampilkan di media online. Media online banyak yang belum difungsikan sebagai tempat untuk meng-up date informasi terbaru, sementara media broadcast seperti radio dan televisi masih berjalan sendiri, belum saling melengkapi. Seharusnya, koran difungsikan sebagai tempat untuk laporan yang sifatnya mendalam, dan update dilakukan oleh online dan broadcast, begitu seterusnya. Sehingga, medium yang ada tidak mubazir dengan menampilkan informasi yang melulu sama.

Saat ini, mungkin belum banyak konsumen informasi yang menuntut hal itu. Tapi esok lusa, ketika mereka semakin membutuhkan informasi yang cepat tapi komprehensif, tuntutan itu akan datang dengan bertubi-tubi. Sekali perusahaan media gagal memenuhinya, konsumen akan meninggalkannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, secepat apa pun perubahan tren pasar, prinsip jurnalisme tidak boleh diabaikan. Tuntutan akan kecepatan informasi bukan berarti media dan wartawan bisa abai terhadap akurasi dan kedalaman berita.

Sebuah konvergensi media sebagai wajah Capital Producing Journalism, menggambarkan bahwa sebuah industri media akan bisa bertahan, jika ia dapat menuruti selera konsumen. Bukan saja soal berita yang selalu up to date tetapi juga tren yang akan disajikan oleh media massa. Sedangkan teknologi informasi hanya bisa didapat dengan penerapan Capital Producing Journalism ini, sebab teknologi informasi dan sumber daya pemberitaan juga tidak memiliki harga yang murah. Hal ini tidak akan dapat dihindari oleh media massa, bahkan sebagi institusi bisnis, institusi pers juga dituntut untuk mampu mengkristalisasi bisnis mediannya. Dan yang patut dipertanggungjawabkan adalah independensi berita untuk khalayak sebagai haknya, karena telah mengeluarkan dana.

DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrat, Hikmat; Kusumanisngrat Purnama. 2005. JURNALISTIK Teori dan Praktik. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung

Severin. J Werner dan Tankard W, James.2001.TEORI KOMUNIKASI; sejarah, metode, dan terapan dalam media massa. Kencana. Jakarta

Sumber Lain :

www.blogspot.com; Artikel berjudul Tantangan Media Massa ditulis oleh Zaki Yamani, seorang wartawan "PR" dan mahasiswa Master of Arts in Journalism, Ateneo de Manila University, Filipina.



[1] Pendapat Hikmat Kussumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang berprofesi sebagai wartawan senior dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2005;95)

[2] Sebuah cerita dalam Artikel berjudul Tantangan Media Massa ditulis oleh Zaki Yamani, wartawan "PR" dan mahasiswa Master of Arts in Journalism, Ateneo de Manila University, Filipina. Dipublikasikan di www.blogspot.com ; Juni 2007

[3] Severin. J Werner dan Tankard W, James dalam bukunya” TEORI KOMUNIKASI; sejarah, metode, dan terapan dalam media massa” (2005; hal 433)