Jumat, 21 November 2008

"Cerita ini untukmu, Ndaru, anakku. Jika kelak kau bersanding dengan seorang perempuan, maka ingatlah cerita ini, agar kau tahu bahwa perempuan adalah keajaiaban, kekuatan, dan cinta...hargailah mereka yang luar biasa!"


Malang, 1 Agustus 2008 @ jam 03.27 pagi...

Malam tadi aku rasakan dingin yang luar biasa. Gerakkanmu tidak sehebat kemarin anakku. Gerakanmu sedikit tetapi cukup kuat, hingga kurasakan kepalamu mulai menyendul tulang dibawah rahimku... ku belai dirimu, meski hanya lewat dinding perutku, kamu pun kembali tenang, seolah tertidur... tapi sebentar kemudian kau menyendul lagi, aku belai lagi.. menyendul lagi.. aku belai lagi.. begitu seterusnya tiada henti... hingga..

Aku merasa ada yang meleleh keluar melalui lubang vagina-ku. Hangat.. yah..inilah yang namanya air ketuban..ada bercak merah sedikit. Aku yakin ini bukan hanya sekedar air kencing.. mulai kurasakan perutku mulas.

Ayahmu tidak berada disamping Bunda waktu itu, nak. Karena ayah harus tugas di luar kota. Bunda sendirian... sudah biasa...

Tas yang telah lama kuisi dengan segala benda yang kupersiapkan untukmu, aku angkat pelan, sembari menelepon supir taksi untuk mengantarku segera kerumah sakit.

Mulas..kian merajam perutku.

Lengang..begitulah ketika aku memasuki koridor rumah sakit dengan langkah pelan. Terlihat seorang suster dengan gugup membawakanku kursi roda, setengah berlari ia..

“Mau melahirkan ya, bu? Naik saja di sini!” perintahnya

“Tidak. Saya masih kuat”

Ruang bersalin, nampak seperti penjara baru bagiku. Ada tempat tiduk berjejer empat, satu telah terisi oleh seorang perempuan muda. Merintih pelan... sakit sekali rupanya.

Ada yang berdesir di rongga dada-ku.. ngeri, takut. Seperti apakah yang perempuan itu rasakan, hingga airmata dan keringatnya mengucur deras. Aku pandangi saja ia, namun kemudian suster itu menutup kelambu hingga menghalagi mataku.

Kurebahkan tubuhku... perut semakin mulas. Tapi aku masih bisa tahan.

“Mari saya periksa ya bu?” tanya suster

“Silahkan...”

.......

“Pembukaan dua, Bu”

......

Aku menunggu..lamaaaa...

Ayahmu pun tidak kunjung tiba...

Bunda sendirian...Lagi-lagi...

Jam 15.24 Ruang Bersalin

Ada yang membuka kelambu. Suster itu.

“Bu, ada dokter akan memeriksa”

.....

“Bu, air ketubannya pecah di bagian atas, merembes sampai bawah, jadi pembukaannya tidak bertambah, solusinya di-drib atau operasi saja”

“didrib dulu saja dok, saya ingin melahirkan normal, saya akan berusaha”

.....

Dan Ayahmu belum datang juga...

Cairan infus dimasukkan melalui pergelangan tangan kiriku.

Dan Ndaru, anakku... perjuangan dengan maut pun mulai Bunda hadapi.

Sakit itu luar biasa, tidak berhenti, mendatangiku setiap jengkal nafas...

Aku hanya menarik nafas panjang dan perlahan kuhembuskan, ku sebut nama Tuhan berkali-kali, mohon ampun...

Ayahmu datang...

Masih mengenakan baju dinas, wajahnya sayu, tegang, letih..

Digenggamnya tanganku..

“Yang kuat yah...” begitu katanya.

Aku genggam tangannya erat. Bebanku mulai sedikit ringan.

Ku tutup mataku ketika rasa sakit itu datang...

Kadang sedikit aku buka, agar Ayahmu tidak kawatir.

Wajahnya tegang sekali....

“Apa kamu masih kuat?” tanyanya

“masih...”

“aku tidak tega melihatmu begini”

“iyah..memang harus begini”

“berjuanglah...”

Delapan jam berlalu, pembukaannya masih pada tingkat yang sama dan semakin lama, terasa kaki paha hingga pinggangku kesemutan... sakit sekali nak.

Hingga..akhirnya kulihat semua pandanganku memutih..kabur..

“kenapa? Kamu pucat sekali, seperti tidak ada darah mengalir di wajahmu” suara ayahmu pelan kudengar, semakin kencang tangannya menggengam tanganku yang semakin terkulai lemas..

“aku panggil suster yah?” suaranya ikut mengabur..

“terserah...”

“tahan yah...”

‘he-eh...”

...................

Banyak bayangan putih melintas di atas-ku, entah yang mana malaikat Allah, entah yang mana penolongku.... ku coba memperjelas pandangan.. makin putih...

Ku gigit bibirku sekuatnya..nafasku serasa tinggal setengah...

Kali ini suara yang mengabur...tidak ada yang terdengar jelas...semakin samar..

.....................

Kubuka mata, ada yang terasa sejuk mengalir di rongga hidungku..ruangan itu terasa begitu dingin...ada sebuah lampu besar diatas kepalaku, pandangaku silau...

“Sudah bangun...?” Ayahmu masih setia di sampingku

“He-eh. Aku kenapa? Dimana ini?”

“Ruang operasi. Operasi saja yah?, nanti ketubannya keburu habis”

“Nggak bisa normal yah?”

“Sudah kamu coba kan?...tapi dokter bilang kondisinya tidak memungkinkan. Aku mohon, yank. Ini demi anak kita dan kamu”

“Baik.. akan ku lakukan apapun”

“Terima kasih sayang...”

Ruang operasi, 22.00

Dingin...

“Punggungnya ditekuk sedikit bu, akan saya suntikan obat bius-nya. Lokal kok” Seorang dokter anastesi memerintahkanku membungkuk. Mendekap bantal.

Sekejap kemudian, terasa sedikit nyeri di antara ruas tulang belakangku, kemudian kaki terasa hangat dan menebal

“Berbaring saja yah bu... rileks” kata dokter tadi

Aku berbaring.... suster-suster itu memasangkan selang oksigen pada rongga hidungku, yang lainnya memasang kateter.

“Berdo’a bu. Kita mulai yah...”

“Iyah dok...”

Dokter kandungan dan asistennya mulai merobek dinding perutku pada bagian bawah, tepat pada tekukan perut. Badanku digoncangnya. Tak sakit.. kurasakan ada yang mengalir hangat keluar lewat vaginaku... dan.....

Kamu menangis, anakku, Andaru.

Menangis keras, seakan kau beritakan ke seluruh dunia, bahwa kau telah lahir, kau yang akan menjaga ayah-bunda mu kelak.

“selamat bu, anaknya laki-laki”

Tubuhmu kecil, berwarna ungu, dibawa seorang suster untuk di mandikan.Akhirnya setelah 9 bulan menyimpanmu rapi dalam rahimku yang hangat... Aku melihatmu untuk pertama kali... Air mataku deras mengucur. Inilah keajaiban. Aku benar-benar seorang perempuan, yang melahirkan seorang laki-laki. Aku, ibumu, nak. Yang kelak akan meneteskan setiap peluh kasih sayang..demi kamu.. Laki-laki kecilku, tempatku menggantungkan asa setinggi bintang. ALFITRASYAH ANDARU RADYA, anugrah Allah yang aku dan ayahmu harapkan bisa menjadi ‘Bintang Negara’, membawa kebaikan bagi agama, orangtua, manusia, dan negara.

...................................

“Beratnya 3 kg bu, sehat” kata suster itu

Direbahkannya pelan tubuh mungilmu yang dingin pada tubuhku yang telanjang. Kita seperti di surga anakku, meski aku tak pernah melihat surga, tapi aku yakin, dadaku yang penuh dengan cairan air susu, mulai kau cari dengan mulut mungilmu, makanan pertama-mu di bumi...dari dalam tubuhku anakku..

Aku peluk kamu...erat.. sejenak tangismu diam. Kemudian suster itu mengangkatmu lagi...

“biar di-adzan-i dulu, ya bu”

Suster itu membawamu keluar ruangan, tangismu makin keras...

Lalu aku tertidur pulas...lega... tak sabar bertemu kau esok pagi.

usia 16 minggu

Untuk Ndaru-ku sayank...

Usiamu 16 minggu di rahimku

Malank dingin, Jum’at 22/02/08


Ibumu ini seorang perempuan, nak

Bukan lelaki sepertimu...

Tidak istimewa

Tapi..

Ibu punya rahim

Tempatmu bersemayam selama 9 bulan

Ibu juga punya kantong susu

Makanan sehat hanya untukmu

Yang terbuat dari keajaiban dan cinta

Karena kau...adalah cinta ibu

Kau adalah nyawa dan darah ibu

Kini,

Bisa ibu rasakan.

Tubuhmu yang hanya 13 cm itu bergerak-gerak,

Seakan bermain riang..meski ini sudah larut malam

Kapan nak?

Kau tampakkan senyummu untukku

Sungguh, aku menunggu dengan berjuta harapan.

Komunikasi&Opini Publik

OPINI DALAM KOMUNIKASI

I. KONSEP KOMUNIKASI

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan, dapat melalui atau menggunakan media tertentu, dengan tujuan untuk memperoleh efek dan umpan balik tertentu (yang dikehendaki oleh komunikator). Dapat pula menggunakan istilah komunikasi sosial, yaitu pernyataan antar manusia yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang (symbols) yang berarti[1]. Hal yang dianggap penting adalah adanya “kesamaan pengertian” diantara pihak-pihak yang terlibat komunikasi.

II. PROSES KOMUNIKASI

Dalam proses komunikasi ada beberapa unsur, antara lain:

1) Komunikator (Penyampai Pesan)

Komunikator adalah orang atau subyek yang memiliki dan menyampaiakan pesan. Menurut R.A Santoso.S[2], dalam proses komunikasi, ada yang disebut dengan Sumber Pesan, yaitu sumber yang memiliki idea atau gagasan yang akan disampaikan kepada komunikan. Kemudian ada juga yang disebut dengan Penyebar Pesan, adalah unsur yang menyampaikan ide atau gagasan Sumber Pesan kepada komunikan. Adapun tugas dari penyebar pesan yaitu : (1) Melakukan encoding atau merumuskan ide/ gagasan ke benak orang lain agar terdapat kesamaan pengertian, (2) Dalam merumuskan pesan, penyebar pesan juga harus memilih lambang-lambang (symbols) yang akan menjadi “kendaraan” dalam membawa pesan yang berisi ide/ gagasan kepada penerima pesan. Misalnya, bahasa apa yang akan digunakan?, lisan atau tulisan?, karena itu Penyebar pesan harus mengetahui kondisi dan situasi dari komunikannya. (3) Penyebar pesan juga harus cermat memilih sarana atau media yang digunakan untuk menyebar pesannya, tentu saja dalam hal ini sarana atau media perlu disoroti secara khusus, karena media atau sarana yang digunakan memegang peranan penting.

2) Pesan

Pesan adalah hal-hal, topik, isu, masalah yang dilontarkan oleh komunikator. Perumusan pesan atau encoding ke dalam lambang-lambang untuk menjadi pesan yang dapat dimengerti oleh komunikator maupun komunikan, merupakan suatu kegiatan yang penting, sulit dan menentukan, karena terbentur dengan kerangka pengalaman (frame of experience) dan kerangka pemikiran (frame of reference) pada setiap individu berbeda-beda. Ada beberapa faktor penting yang harus diperhatikan oleh komunikator dalam merumuskan pesan, antara lain; (1) pesannya harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menumbuhkan perhatian bagi komunikan. Dengan perhatian tersebut diharapkan dapat menumbuhkan efek, bahkan feedback yang sesuai dengan kehendak komunikator dari komunikan, (2) Lambang-lambang yang digunakan harus benar-benar dapat dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi[3].

Pemilihan lambang-lambang harus dapat menimbulkan kesamaan pengertian diantara mereka yang melakukan komunikasi. Lambang-lambang tersebut terdiri atas:

1. Bahasa : dalam kehidupan manusia, terdapat ribuan bahasa, sehingga dalam berkomunikasi untuk menimbulkan pengertian yang sama, manusia harus benar-benar bisa memilihnya

2. Tanda-tanda : morse, bendera, rambu-rambu, dan sebagainya

3. Gambar-gambar : peta, diagram, grafik statistika, denah, bagan/ struktur organisasi

4. Isyarat-isyarat : gerakan mata, anggukan kepala, gelengan kepala, mengerutkan dahi

3) Media atau Sarana Komunkasi

Media atau sarana komunikasi adalah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan/ menyebarkan pesan agar dapat sampai kepada komunikan. Penggunaan media yang tepat sebagai sarana penyampaian pesan sangat menentukan bagaimana opini terbentuk dalam benak komunikan. Dalam menentukan media untuk menyampaikan pesan, komunikator harus sangat mengetahui sifat komunikannya, yaitu apakah komunikannya individu, kelompok atau massa. Misalnya saja, komunikator ingin menyampaikan pesannya kepada orang banyak, maka orang banyak sekaligus, sehingga penggunaan media massa sangat tepat, karena dalam komunikasi massa, pesan bersifat umum, disampaikan kepada orang banyak dengan serentak, dimana biasanya komunikatornya merupakan suatu organisasi, lembaga, atau orang yang dilembagakan (institutionalized person) dengan umpan balik yang tidak langsung.

Namun jika komunikannya individu, komunikator tidak perlu menggunakan media massa untuk menyampaikan pesannya, tetapi sangat efektif bila berbicara secara tatap muka atau berhadapan dengan komunikan.

4) Komunikan

Komunikan adalah individu atau subyek yang menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam proses komunikasi, komunikan selalu melakukan decoding, artinya ia menafsirkan pesan yang sampai kepadanya melalui medianya. Komunikan selalu berusaha memahami pesan itu, sehingga dapat memberikan reaksi yang sesuai dengan harapan penyebar pesan.

Decoding adalah faktor penting untuk memahami pesan yang diterimanya. Dalam kegiatan ini perlu ada persamaan antara pengirim pesan dan penerima pesan terhadap lambang-lambang yang telah dirumuskan oleh komunikator. Perlu diketahui juga hambatan-hambatan yang dapat terjadi dalam proses decoding tersebut, yaitu gangguan semantic (bahasa), gangguan teknis, gangguan fisik pada para peserta komunikasi, gangguan kejiwaan (psikiologis)[4].

Dengan demikian, maka dapat dikatakan, sekalipun proses komunikasi telah mengikuti jalur yang ada, kemungkinan adanya gangguan seperti dijelaskan di atas dapat saja terjadi, sehingga komunikasi mengalami hambatan dan tidak lancar.

5) Umpan Balik (Feed back)

Umpan balik atau feedback dalam proses komunikasi adalah suatu reaksi yang timbul dari komunikan setelah menerima pesan, yang merupakan suatu informasi kepada komunikator, apakah pesan yang disebarkan berlangsung efektif atau tidak. Adapun umpan balik atau feedback dapat dibedakan menjadi :

- Umpan balik negatif : reaksi dari komunikan yang tidak sesuai dengan harapan komunikator, misalnya pada saat komunikator menyampaikan pesannya, komunikan justru berbuat gaduh, mengantuk, tidur, meninggalkan tempat, dan sebagainya.

- Umpan balik positif : reaksi dari komunikan yang sesuai dengan harapan komunikator, misalnya tepuk tangan (applause), anggukan kepala, dan sebagainya.

- Umpan balik nol (Zero Feedback): reaksi komunikan tidak menyambut pesan yang disampaikan oleh komunikator.

- Umpan balik netral (Neutral Feedback): reaksi yang diberikan oleh komunikan tidak menimbulkan sesuatu yang mengubah suasana, stagnan.

- Umpan balik inferesial: perkiraan/ dugaan komunikator terhadap reaksi yang timbul dari komunikan terhadap pesan yang disampaikan.

- Umpan balik langsung : umpan balik yang bisa segera ditangkap/ diketahui oleh komunikator

- Umpan balik tidak langsung : umpan balik yang disampaikan kepada komunikator setelah melewati tenggang waktu, misalnya surat pembaca[5].

Seorang komunikator wajib memperhatikan umpan balik demi dapat melaksanakan komunikasi yang berlangsung efektif dan berhasil. Bilamana komunikasi yang dilancarkan komunikator telah berlangsung efektif, maka pesan yang disampaikan pada komunikan akan menimbulkan perubahan, misalnya timbul pengertian, pengetahuan, perubahan tingkah laku.

III. OPINI DALAM KOMUNIKASI

Opini adalah segala bentuk pikiran, pendapat dan pandangan yang terungkap secara manifest. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari argumentasi lisan, tulisan, isu, rumor, gosip, spekulasi. Opini merupakan suatu akumulasi citra yang tercipta atau diciptakan oleh proses komunikasi. Citra tentang sesuatu (baik yang abstrak maupun konkret) selalu menjadi multi faced (bermuka banyak) atau mempunyai dimensi jamak, karena adanya pebedaan penafsiran di antara peserta komunikasi. Itulah sebabnya dalam opini publik terjadi pergeseran-pergeseran citra, tergantung pada siapa saja yang terlibat dalam proses komunikasi. Setiap kali jaringan komunikasi berubah, maka opini juga ikut berubah, namun perlu ditegaskan disini bahwa yang berubah dalam opini publik adalah dinamika komunikasinya, sedangkan realitas faktual yang menjadi substansi opini cenderung permanen, karena ketika proses pembentukan opini berlangsung, fakta empiriknya telah terjadi.

Proses terbentuknya opini publik bermula dari suatu realitas faktual tertentu, yang kemudian menjadi wacana dalam proses komunikasi. Realitas itu bersifat statis. Fakta empiriknya sama, akan tetapi pelaksanaannya mengalami pergeseran yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor yang terlibat dalam proses komunikasi.

Dalam proses komunikasi, realitas faktual ditranformasikan menjadi simbol-simbol verbal, melalui proses konversi yang disebut selektivitas internal, kemudian menjadi realitas opini publik. Seleksi internal menghasilkan sistem pemaknaan, yang pada gilirannya bisa menghasilkan out put yang tidak sama dengan inputnya. Unsur-unsur yang bekerja dalam seleksi internal itu adalah dimensi kognitif dan dimensi afeksi. Karena itulah ketika realitas faktual atau empirik itu telah ditransformasikan dalam realitas opini publik bisa mempunyai esensi yang berbeda, bisa lebih dalam intensitasnya karena adanya sugesti, bisa menyempit karena kecenderungan gejala “hiper-realitas” dalam komunikasi[6].

Opini publik dianggap bernilai bagi pihak yang terlibat dalam interaksi sosial, karena pertama, opini publik mewakili citra superioritas, sehingga banyak, yang berpendapat bahwa barangsiapa menguasai opini publik, maka ia akan bisa mengendalikan orang lain. Kedua, Opini publik mewakili realitas faktual, sehingga individu merasa harus merespons sebagai cara menunjukkan eksistensi diri. Ketiga, Opini publik berhubungan dengan citra, rencana, dan aksi, dimana hal-hal ini merupakan bagian dari tahap-tahap kegiatan dalam situasi yang selalu berubah. Dengan kata lain, opini publik sebenarnya memberi inspirasi bagaimana individu dalam kelompok bertindak agar terhindar dari pencitraan yang buruk. Keempat, opini publik merefleksikan apa yang menjadi kemauan banyak orang. Kelima, Opini publik identik dengan hegemoni ideologi. Apabila suatu kelompok atau pemerintahan ingin terus berkuasa, maka harus mampu menjadikan ideologi kekuasaannya menjadi dominan dalam opini publik.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana, Dedy., 1998, Ilmu Komunikasi – Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdhakarya. Bandung

Santoso, R.A., Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial


[1] R.A. Santoso S dalam bukunya Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial, Hal. 7

[2] Ibid, Hal 9

[3] Ibid, hal 13

[4] Ibid, hal 12

[5] Ibid hal. 26-27

[6] Dedy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi – Suatu Pengantar Hal. 189

Homans; tentang pertukaran sosial

GEORGE CASPAR HOMANS

(TEORI PERTUKARAN SOSIAL)

I. Biografi George Caspar Homans

Lahir di Boston tahun 1910. Ia dibesarkan pada lingkungan keluarga yang kaya raya. Ia juga seorang hartawan. Pada tahun 1932 Homans menerima gelar Sarjana Muda dari Havard University. Setelah memperoleh gelar ini George C. Homans mengalami depresi yang cukup berat karena ia menganggur terlalu lama, tapi karena kondisi keuangan yang baik ia tidak mengalami kebangkrutan.

Homans adalah seorang sosiolog. Ketertarikan Homans mengenai sosiologi sebagian besar karena faktor kebetulan. Awal musim gugur tahun 1932, ketika Homans merasa putus asa dan bosan karena lama menganggur, seorang ahli psikologi asal Havard, Prof. Lawrence J. Henderson mengadakan seminar tentang teori Pareto mengenai struktural sosial masyarakat Perancis. Homans menjadi pemakalah ketika itu. Seminar ini juga dihadiri oleh Talcolt Parsons. Pada seminar ini Homans mengungkapkan ketertarikannya pada teori Pareto untuk menerangkan mengapa teori sosiologi Amerika sangat konservatif dan anti-Marxis. Makalah Homans tentang Pareto ini berhasil dijadikan buku berjudul An Introductions to Pareto yang ditulisnya bersama Charles Curtis dan diterbitkan pada Tahun 1934.

Karya Homans dalam sosiologi sebenarnya berawal pada tahun 1933, ketika bergabung dengan Prof. Lawrence Henderson yang sedang meneliti ciri-ciri psikologis dari pekerjaan Industri dan Elton Mayo (guru Homans), seorang ahli psikologi yang meneliti tentang faktor manusia dalam indusrialisasi[1]. Kemudian pada tahun 1934 sampai dengan 1939 Homans mengikuti Program Junior Fellow di Havard University. Dari Program ini Homans mendapatkan banyak pengetahuan sosiologi. Pada tahun 1939 ini pula ia bergabung dengan jurusan sosiologi tetapi terputus oleh perang.

Homans masuk pada Angkatan Laut saat Perang Dunia II. Pada saat inilah ia memikirkan masalah penting tentang sejumlah hasil studi “lapangan” atau konkret tentang kelompok kecil baik yang asli maupun yang modern untuk dituangkan dalam satu konsep umum yang lengkap dengan skemanya. Setelah selesai perang Homans kembali ke Havard dan bergabung dengan jurusan hubungan sosial. Ia juga mulai menulis buku berjudul The Human Group.

Dalam karyanya sendiri Homans menngumpulkan sejumlah besar data hasil observasi yang empiris selama bertahun-tahun, tetapi baru pada tahun 1950- an ia menemukan pendekatan teoritis yang memuaskan untuk menganalisis data “lapangannya” itu. Perspektifnya juga dipengaruhi oleh B.F. Skinner, seorang psikolog yang juga merupakan teman dekatnya tentang teori behaviorisme psikologis. Berdasarkan perspektif ini Homans membangun Teori Pertukaran.

Meskipun George C. Homans menjadi tokoh sosiologi terkemuka pada masanya, tetapi ia tidak pernah memperoleh gelar Ph.D. Homans meninggal pada tahun 1989.

II. Pemikiran dan Teori yang mempengaruhi Teori Pertukaran George C. Homans.

Meski menghormati aspek-aspek pemikiran Parsons namun ia juga mengecam gaya pemikiran teoritis Parsons[2]. Homans menyatakan bahwa teori Parsons bukan teori sama sekali, tetapi merupakan sistem intelektual yang luas dalam menggolong-golongkan aspek-aspek sosial. Menurut Homans teori Parsons hanya merupakan skema konseptual yang hanya berguna sebagai titik tolak ilmu, karena sebuah teori harus berisi beberapa proposisi.

Homans menolak tipe penjelasan fungsional. Homans memperlihatkan bahwa suatu pola tertentu pada kehidupan masyarakat yang bersifat menguntungkan masyarakat bukan untuk menjelaskan penyebab orang itu menyesuaikan tindakannya terhadap pola tersebut. Penjelasan mengenai perilaku menuntut suatu pemahaman mengenai motif-motif dan perasaan-perasaan manusia dan tidak menyoalkan kebutuhan hipotesis dan tuntutan-tuntutan masyarakatnya. Menurut Homans, nampakanya tidak ada cara untuk menentukan secara definitif apa kebutuhan fungsional itu, terlebih jika kita mengakui bahwa kekurangan yang diciptakan oleh runtuhnya setiap pola institusional biasanya diikuti oleh munculnya institusi-institusi alternatif untuk menggantikan kerusakan itu, sehingga Homans tidak menggunakan penjelasan tipe-fungsional seperti Parsons, karena menurutnya pola-pola pertukaran harus dianalisa menurut motif-motif dan perasaan-perasaan manusia yang terlibat dalam interaksi tersebut.

Banyak ide dasar dalam karya Homans yang juga menyerang intepretasi Levi-Strauss mengenai kebiasaan-kebiasaan perkawinan dalam masyarakat primitif. Hal ini merupakan tema pokok dalam analisis lintas-budaya yang dikemukakan oleh Homans. Levi-Strauss mengemukakan bahwa pola perkawinan, dimana seorang anak mengawini putri saudara Ibunya memberikan sumbangan yang amat besar pada tingkat solidaritas yang tinggi pada masyarakat primitif, dibandingkan dengan seseorang yang mengawini anak dari saudara bapaknya.[3] Alasan Levi-Strauss menjelaskan solidaritas sosial yang lebih tinggi ini adalah bahwa pola yang lebih disukai ini mencakupi pertukaran tidak langsung dari pada pertukaran langsung. Sedangkan Homans memberikan penjelasan yang bersifat Psikologis mengenai pola-pola perkawinan ini. Arahnya adalah ke perasaan-perasaan manusia itu sendiri yang bersifat alamiah (berlawanan dengan determinasi budaya), tidak terhadap integrasi atau solidaritas masyarakat. Tekanan Homans pada penjelasan institusi-institusi sosial di tingkat psikologi individu merupakan pendekatan dasarnya. Homans mengemukakan bahwa alasan sering terjadinya perkawinan dengan anak saudara Ibu hanya karena individu itu secara emosional lebih dekat dengan Ibunya daripada Bapaknya.

Homans mengemukakan bahwa banyak tulisan sosiologis yang sangat abstrak dan sulit untuk melihat hubungan yang jelas dengan data empiris yang didapat dari lapangan. Konsep-konsep sosiologi seperti institusi sosial, peran, kebudayaan, strukutur otoritas, dan status adalah konsep abstrak, bukan konsep yang benar-benar diamati. Akibatnya, sering sulit untuk menghubungkan konsep-konsep teoritis dengan gejala tertentu yang dapat diamati dengan jelas dan tidak ambigu[4]

Menurut Homans, teori tak hanya cukup mengandung beberapa proposisi saja. Teori tentang fenomena adalah sebuah penjelasan tentang fenomena itu sendiri. Homans berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Homans mengemukakan bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang dapat diamati dan diukur secara empirik. Keadaan-keadaan internal (perasaan dan sikap subyektif, dan sebagainya) harus didefinisikan dalam istilah-istilah perilaku (Behavioral term) untuk keperluan pengukuran empiris[5].

Satu ciri khas teori pertukaran yang menonjol adalah cost and reward. Dalam berinteraksi manusia selalu mempertimbangkan cost (biaya atau pengorbanan) dengan reward (penghargaan atau manfaat) yang diperoleh dari interaksi tersebut. Jika cost tidak sesuai dengan reward-nya, maka salah satu pihak yang mengalami disertasi seperti ini akan merasa sebal dan menghentikan interaksinya, sehingga hubungan sosialnya akan mengalami kegagalan. Inti teori pertukaran Homans terletak pada kumpulan proposisi-proposisi dasar yang menerangkan tentang setidaknya dua individu yang berinteraksi. Ia mencoba menjelaskan perilaku sosial mendasar dilihat dari sudut hadiah dan biaya. Dalam hal ini ai termotivasi oleh teori struktural-fungsional Parsons. Menurut Homans, teori struktural-fungsional memiliki kebaikan apa saja kecuali dalam menjelaskan segala sesuatu[6]. Homans beranggapan bahwa dalam melihat perilaku sosial manusia, maka yang harus diamati adalah individu atau paling tidak ada dua individu yang saling berinteraksi. Dan pengamatan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

III. PROPOSISI-PROPOSISI

a. Proposisi Sukses (The Success Proposition)

“Untuk semua tindakan yang dilakukan seseorang, semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu”[7]

Proposisi ini berarti bahwa semakin besar kemungkinan seseorang untuk melakukan sesuatu jika di masa lalu orang tersebut telah mendapatkan hadiah (manfaat) yang berarti bagi dirinya. Selanjutnya semakin sering orang menerima hadiah yang berguna di masa lalu, maka makin sering seseorang itu melakukan hal yang sama. Begitu pula, jika ia sering menerima hadiah berupa persetujuan atas tindakannya dari orang lain, maka ia juga akan sering memberikan perlakuan yang sama bagi orang tersebut. Adapaun perilaku yang sesuai dengan proposisi keberhasilan ini meliputi tiga tahap: pertama adalah tindakan orang; kedua adalah hadiah (manfaat) yang diperoleh; ketiga adalah perulangan tindakan asli atau sekurangnya tindakan yang serupa dalam hal tertentu.

Ketetapan proposisi sukses menurut Homans: pertama, meski umumnya benar bahwa makin sering hadiah diterima, maka makin sering tindakan dilakukan, namun hal ini tidak dapat berlangsung secara terbatas. Di saat tertentu indivisu benar-benar tidak dapat bertindak seperti itu sesering mungkin. Kedua, makin pendek jarak waktu antara perilaku dan hadiah, makin besar kemungkinan orang mengulangi perilaku. Sebaliknya, makin lama jarak waktu antara perilaku dan hadiah, maka makin kecil kemungkinan orang mengulangi perilaku. Ketiga, menurut Homans, pemberian hadiah secara internitem lebih besar kemungkinannya menimbulkan perulangan perilaku daripada mendapatkan hadiah yang teratur. Hadiah yang teratus akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, sedangkan hadiah yang diperoleh dalam jarak waktu yang tak teratur sangat mungkin menimbulkan perulangan perilaku.

b. Proposisi Pendorong (The Stimulus Proposition)

“ Bila dalam kejadian di masa lalu dorongan tertentu atau sekumpulan dorongan telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka makin serupa dorongan kini dengan dorongan di masa lalu, makinbesar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa”[8]

Homans menyimpulkan dari proses generalisasi dalam kecenderungan memperluas perilaku dalam keadaan serupa. Keberhasilan seseorang mendapatkan hadiah dari tindakan yang dilakukan, mungkin akan mendorong orang tersebut untuk merubah perilakunya pada arah yang sama. Tetapi proses diskriminasinya juga pentingh, artinya manusia sebagai aktor mungkin hanya akan melakukan tindakan dalam keadaan khusus yang terbukti sukses mendapatkan hadiah di masa lalu. Bila kondisi yang menghasilkan kesuksesan itu terjadi terlalu rumit, maka kondisi serupa mungkin tidak akan menstimuli perilaku. Bila stimuli krusial muncul terlalu lama sebelum perilaku diperlukan, maka stimuli itu benar-benar merangsang perilaku. Aktor dapat menjadi terlalu sensitif terhadap stimuli terutama jika stimuli itu sangat bernilai bagi aktor. Kenyataan aktir dapat menanggapi stimuli yang tak berkaitan, setidaknya hingga situasi diperbaiki melalui kegagalan berulang kali. Semuanya ini dipengaruhi oleh kewaspadaan atau derajat perhatian individu terhadap stimuli.

c. Proposisi Nilai (The Value Proposition)

“Makin tinggi nilai hasil tindakan seseorang bagi dirinya, makin besar kemungkinan ia melakukan tindakan itu”[9]

Bila hadiah yang diberikan masing-masing kepada orang lain amat bernilai, maka makin besar kemungkinan aktor tersebut melakukan tindakan yang diinginkan ketimbang jika hadiahnya tidak bernilai. Disinilah Homans memperkenalkan konsep hadiah dan hukuman. Hadiah adalah tindakan nilai positif; makin tinggi nilai hadiah, makin besar kemungkinan mendatangkan perilaku yang diinginkan. Menurut Homans, hukuman merupakan alat yang tidak efisien untuk membujuk orang mengubah perilaku mereka karena orang dapat bereaksi terhadap hukuman menurut cara yang tidak diinginkan, sehingga perilaku ini akan cepat dihentikan. Sedangkan hadiah lebih disukai, tetapi persediaannya mungkin terbatas. Homans menekankan bahwa teorinya sebenarnya bukanlah teori hedonitis; menurutnya hadiah dapat berupa materi (uang) tapi juga bisa berupa altruitis (penghargaan dari orang lain).

d. Proposisi Persetujuan-Agresi (The Aggression-Approval Proposition)

Proposisi A “Bila tindakan orang tak mendapatkan hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia aharapkan, ia akan marah; besar kemungkinan ia akan melakukan tindakan agresif dan akibatnya tindakan demikian makin bernilai baginya.”[10]

Konsep frustasi dan marah menurut Homans lebih mengacu pada keadaan mental. Menurut Homans, bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia harapkan, ia akan menjadi kecewa, frustasi. Homans lalu menyatakan bahwa frustasi terhadap harapan seperti itu, tak selalu “hanya” mengacu pada keadaan intenal. Kekecewaan dapat pula mengacu pada seluruh kejadian eksternal, yang tak hanya dapat diamati oleh aktor iru sendiri tetapi juga orang lain. Proposisi A tentang persetujuan-agresi, hanya mengacu pada emosi negatif.[11]

Proposisi B “Bila tindakan seseorang menerima hadiah yang ia harapkan, terutama hadiah yang lebih besar daripada yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan puas; ia makin besar kemungkinannya melaksanakan tindakan yang disetujui dan akibat tindakan seperti itu akan makin bernilai baginya”[12]

Ketika aktor mendapatkan hadiah yang diharapkan dan orang lain yang memberikan hadiah itu mendapatkan pujian yang ia harapkan, keduanya akan puas dan lebih mungkin memberi atau meneima hadiah, karena hadiah berharga bagi masing-masing pihak.

e. Proposisi Rasionalitas (The Rationality Proposition)

“ Dalam memilih di antara berbagai tindakan alternatif, seseorang dan memilih satu di antaranya, yang ia anggap saaat itu memiliki value(V), sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas (p), untuk mendapatkan hasil yang lebih besar”[13]

Proposisi rasionalitas Homans ini sangat jelas dipengaruhi oleh teori pilihan rasional. Menurut istilah ekonomi, aktor yang bertindak sesuai dengan proposisi rasionalitas adalah aktor yang memaksimalkan kegunaannya.

Manusia sebagai aktor akan membanding-bandingkan jumlah hadiah dari hasil tindakan yang akan mereka lakukan. Mereka pun akan memperhitungkan kemungkinan hadiah yang benar-benar akan mereka terima. Hadiah yang bernilai tinggi akan diturunkan nilainya, jika aktor membayangkan hadiah itu tak mungkin dicapainya. Sebaliknya, hadiah yang benilai rendah akan ditingkatkan jika aktor membayangkan hadiah itu dapat dicapai dengan mudah.

Proposisi rasionalitas menerangkan bahwa apakah orang akan melakukan tindakan atau tidak tergantung pada persepsi mereka mengenai peluang sukses. Persepsi mengenai apakah peluang sukses tersebut tinggi atau rendah ditentukan oleh kesuksesan di masa lalu dan kesamaan situasi kini dengan situasi kesuksesan di masa lalu. Namun proposisi rasionalitas tidak menjelaskan kepada kita mengapa aktor menilai suatu hadiah tertentu lebih daripada hadiah yang lain; untuk menjelaskan hal ini diperlukan proposisi nilai. Dalam semua yang disebutkan diatas, Homans menghubungkan prinsip rasionalnya dengan preposisi behavioristiknya.

f. Dinamika Perilaku Kelompok Kecil

Dalam bukunya The Human Group, Homans membahas tentang perilaku sosial kelompok kecil. Ada tiga konsep utama yang digunakan Homans untuk menggambarkan kelompok kecil:

1. Kegiatan : adalah perilaku aktual yang digambarkan pada tingkat yang sangat kongkret. Sebagian dari gambaran mengenai kelompok apa saja yang harus meliputi catatan mengenai kegiatan-kegiatan para anggotanya saja. Individu-individu dan kelompok-kelompok kecil dapat dibandingkan menurut persamaan dan perbedaan dalam kegiatan-kegiatan mereka, dan dalam tampilan perilaku dari berbagai kegiatan itu.

2. Interaksi : adalah kegiatan apa saja yang merangsang atau dirangsang oleh kegiatan orang lain. Individu-individu atau kelompok-kelompok dapat dibandingkan menurut frekuensi interaksi, menurut siapa yang memulai interaksi, menurut saluran-saluran yang dipilih untuk melakukan interaksi tersebut dan sebagainya.

3. Perasaan : Tidak hanya didefinisikan sebagai suatu keadaan subyektif, tetapi juga sebagai suatu tanda yang bersifat eksternal atau bersifat perilaku yang menunjukkan keadaan internal individu.

Tanda-tanda internal individu adalah keadaan-keadaan fisiologis seperti kelaparan atau keletihan, reaksi emosional yang positif atau negatif terhadap suatu peristiwa atau stimulus, perasaan suka atau tidak suka, atau banyak lagi yang lain dimasukkan dalam kategori besar, yaitu perasaan, sepanjang keadaan internal ini dimanifestasikan dalam suatu tipe perilaku yang dapat diamati.[14]

Ketiga konsep ini membentuk suatu keseluruhan perilaku yang terorganisasi dan berhubungan timbal-balik[15]. Artinya kegiatan akan mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh pola-pola interaksi dan perasaan-perasaan, begitu juga sebaliknya, interaksi dan perasaan akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kegiatan. Ada hubungan timbal balik antara kegiatan, interaksi dan perasaan. Jika salah satu elemen ini diubah, maka yang lain dapat berubah juga. Keseluruhan perangkat kegiatan, pola interaksi dan perasaan-perasaan individu serta hubungan timbal baliknya dalam interaksi kelompok akan membentuk sistem sosial kelompok itu.

g. Dasar-dasar Psikologi bagi Transaksi Pertukaran

Homans membangun teori pertukarannya pada landasan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang diambil dari psikologi perilaku (behavioral psychology) dan ekonomi dasar[16]. Dari psikologi perilaku diambil suatu gambaran mengenai perilaku manusia yang dibentuk oleh hal-hal yang memperkuat atau yang memberikannya dukungan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, manusia mmeberikan dukungan yang positif atau negatif terhadap satu sama lain dalam proses interaksi, dimana mereka saling membentuk perilakunya. Sedangkan dari ekonomi dasar, Homans mengambil konsep-konsep seperti biaya(cost), imbalan (reward),dan keuntungan (profit) yang diharapkan dan berhubungan dengan perilaku manusia. Tujuan Homans adalah untuk memperluas cakupannya, sehingga mencakup pertukaran sosial juga. Misalnya, dukungan sosial seperti halnya uang, dapat dilihat sebagai reward, dan berada dalam suatu posisi bawahan dalam suatu hubungan sosial dapat dilihat sebagai cost. Konsep reward ekonomi pararel dengan konsep psikologis, yakni dukungan, sedangkan konsep ekonomi mengenai biaya pararel dengan konsep psikologis yakni hukuman. Homans menggambarkan perilaku sosial sebagai suatu pertukaran kegiatan paling kurang antara dua orang, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan kurang lebih yang memberikan reward atau mengeluarkan cost.

Konsep-konsep yang digunakan dalam The Human Group (kegiatan, interaksi, perasaan) dimasukkan dalam teori pertukaran, yang kemudian dikembangkan dalam Social Behavior: Its Elementary Form sebagai istilah-istilah deskripitif. Beberapa konsep tambahan juga dibahas, yaitu :

1. Kuantitas : menunjuk pada frekuensi dimana suatu perilaku tertentu dinyatakan dalam suatu jangkja waktu tertentu, atau sejumlah perilaku yang sedang terjadi.

2. Nilai : tingkat dimana suatu perilaku didukung atau dihukum.

Homans menambahkan bahwa pengalaman masa lampau seseorang sebagai petunjuk untuk jenis perilaku apa yang bernilai dan berharga. Namun demikian, kekaburan konsep Homans mengenai nilai dan kesulitan dalam menggunakannya sebagai hipotesa prediktif daripada penjelasan yang bersifat ex pos facto, merupakan satu sumber kecaman terhadap teori Homans sebagai satu teori yang benar-benar bersifat deduktif.

Deprivasi dan kepuasan, investasi, dan keadilan distributif merupakan konsep-konsep dasar dalam proposisi penjelasan yang dikembangkan Homans. Deprivasi adalah jangka waktu sejak seseorang itu menerima suatu reward tertentu; sedangkan kepuasan adalah kuantitas dari reward yang cukup besar untuk memuaskan seseorang, sehingga penghargaan itu selalu dinanti dan diinginkan lagi.

Proposisi dasar merupakan inti teori pertukaran Homans. Proposisi-proposisi ini memusatkan perhatiannya pada keseruapaan dalam pola perilaku tertentu yang ditampilkan, reaksi terhadap hasil perilaku itu, dan proses memilih di antara perilaku-perilaku alternatif[17]. Dapat disimpulkan bahwa keserupaan yang akan ditampilkan dalam suatu pola perilaku tertentu bertambah dalam proporsi yang langsung dengan frekuensi di mana perilaku itu dihargai di masa lampau, nilai penghargaan yang diterima, dan persamaan situasi sekarang dengan situasi masa lampau dimana perilaku tersebut dihargai.

IV. JENIS REALITAS

Dari proposisi-proposisi dan penjelasan teori Homans di atas, maka dapat dikatakan bahwa Homans berpegang pada keharusan menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku sosial. Dalam karyanya The Human Group, walaupun membicarakan dinamika-dinamika kelompok dalam sistem sosial, namun Homans menjelaskan perilaku individu-individu. Beberapa proposisinya menjelaskan tentang interaksi antar individu dalam kajian yang mengacu pada bidang psikologi. Menurut Homans pun, untuk mengetahui realitas sosial atau bahkan sistem sosial, kita perlu untuk menganalisa bentuk interaksi “kecil” atau paling tidak melibatkan dua individu secara hati-hati dan teliti, karena justru individu dan kelompok-kelompok inilah yang membangun perilaku dan realitas sosial dalam lingkup yang lebih besar, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis realitas teori yang disajikan Homans bersifat subyektif.

V. LINGKUP REALITAS

Homans memilih kelompok kecil untuk analisa deskriptifnya, sebagian karena kelompok itu merupakan satuan dasar yang terdapat dalam semua tipe struktural sosial lainnya dan semua satuan budaya[18], dan sebagian karena keterlibatan individu tersebut dalam kelompok tersebut dan oleh individu tersebut dijadikan sebagai pengalaman. Menurut Homans, keuntungan pengamatan perilaku sosial dalam kelompok kecil dapat dengan mudah digambarkan dalam istilah-istilah yang dekat dengan tingkat pengamatan empiris[19].

Menurut penjelasan di atas, teori pertukaran oleh Homans ini memusatkan perhatiannya dalam lingkup realitas tingkat mikro, karena pola-pola pertukaran harus dianalisa menurut motif-motif dan perasaan-perasaan individu yang terlibat dalam interaksi tersebut.

Sejumlah proposisi yang disusun dalam buku The Human Group bersifat deskriptif, tidak bersifat menjelaskan. Artinya, proposisi-proposisi itu menyatakan keseragaman empiris dalam hubungan antar variabel-variabelnya, tetapi tidak berusaha menjelaskan mengapa keseragaman itu muncul atau bertahan. Homans berusaha untuk bergerak lebih jauh dari deskripsi ke penjelasan dalam bukunya yang diterbitkan sepuluh tahun kemudian, Social Behaviour: Its Elemtary Form, maksud Homans dalam karyanya ini adalah untuk mengembangkan proposisi yang sangat umum yang bersifat menjelaskan, darimana keseragaman empiris dapat ditarik secara deduktif[20]. Pusat perhatiannya malah lebih mikro lagi daripada bukunya yang terdahulu. Jika dalam karyanya terdahulu Homans memusatkan perhatiannya pada kelompok sebagai satu keseluruhan yang terorganisasi, yang kemudian secara eksplisit bersifat individualistik dan reduksionis, dengan proposisi-proposisi tingkat-kelompok yang diturunkan dari proposisi-proposisi tingkat-individual. Jadi, dengan memusatkan perhatian pada interaksi tatap muka dimana pertukaran sosial itu bersifat langsung, bukan tidak langsung.

VI. AKTOR DALAM TEORI

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa jenis realitas teori pertukaran Homans adalah realitas subyektif dan lingkup realitas yang tertuju pada tingkatan mikro, maka dapat disimpulkan bahwa teori pertukaran Homans menganggap bahwa manusia sebagai aktor bebas melakukan tindakan dan berperilaku sesuai dengan kehendaknya atau voluntair.

Seperti yang telah digambarkan dalam proposisi-proposisi Homans pada pembahasan diatas, aktor bertindak dan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh kehendak dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh struktur atau sistem sosial di sekitarnya. Aktor sangat otonom dalam menentukan apa yang harus dilakukan untuk memberikan dan memperoleh manfaat dari proses interaksi yang dilakukannya.

Bahkan Homans menyimpulkan bahwa struktur sosial besar yang menurut para fungsionalis dan postivis dianggap dapat mempengaruhi aktor dalam berperilaku sebenarnya dibentuk oleh tindakan otonom aktor itu sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain.

VII. LOKUS REALITAS

Pada teori pertukaran Homans yang dibahas dalam paper ini selalu menekankan bahwa peran individu dalam menentukan perilaku sangat otonom. Dalam konsep reward dan cost, individu bebas menentukan perilaku dalam berinteraksi dengan berpatokan pada manfaat apa yang ia dapat dan seberapa besar ia berkorban (mengeluarkan biaya) untuk mendapatkan manfaat tersebut. Homans juga lebih teliti dalam mengamati interaksi individu dalam lingkup kelompok kecil atau mikro, sehingga dapat disimpulkan lokus realitas teori pertukaran Homans berada pada lokus “mind”, pemikiran, perasaan dan pertimbangan perilaku ditentukan oleh individu itu sendiri, bukan struktur sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA

Homans, George C, Schiedier, David M, 1995. Marriage, Autority and Final Causes: Study of Unilateral Cross – Cousin Marriage; Free Press. New York.

Homans, George C. 1974, Social Behaviour; Its Elementary Form. Rev Editions. Harcourt Brace Jovanovich. New York.

Lawang, Robert M.Z., 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Ritzer, George, and Goodman, Douglas.2004. Teori Sosiologi Modern. Kencana. Jakarta.



[1] Dalam Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, George Ritzer & Dooglas J. Goodman (2004;362)

[2] Ibid, (2004; 84)

[3] George C. Homans and David M.Schieider; Marriage, Authority and Final Causes: A Study of Unilateral Cross-Cousin Marriage (New York: Free Press, 1995;59).

[4] The Human Group, Homans; 10-23 dalam Teori Sosiologi Modern dan Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Robert Lawang, M.Z (1990;61)

[5] Ibid (1950;38)

[6] Teori Sosiologi Modern, Ritzer & Goodman; 2004;359

[7] Homans (1974:16) dalam Teori sosiologi modern Ritzer dan Goodman (2004:361)

[8] Homans (1974;23) Ibid (2004;364)

[9] Homans (1974:25) Ibid (2004;364)

[10] Homans (1974:37), Ibid (2004;365)

[11] Ibid (2004;75)

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] The Human Group, Homans, (1950;10-23)

[15] Ibid (1950;87), diulang-ulang dalam The Human Group

[16] Dalam Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Robert Lawang, M.Z (1990;64)

[17] Social Behavior: Its Elementary Forms, Rev edition (1974;15-50)

[18] Dalam Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Robert Lawang, M.Z (1990;55)

[19] Ibid

[20] “introduction” dalam Social Behaviour: Its Elemtary Form, Homans