Sabtu, 22 November 2008

Capital Producing Journalism; Inovasi

1. Proposisi dan Asumsi-asumsi Teoritik Inovasi

Perubahan-perubahan sosial selalu dipengaruhi oleh hal-hal baru di masyarakat yang menciptakan suatu keadaan yang berbeda dengan keadaaan sebelumnya dalam sistem sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sebuah sistem sosial sebagai suatu kesatuan. Sesuatu yang baru yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat itu selalu berhubungan dengan difusi inovasi, dimana perubahan dipacu oleh penyebaran suatu pengetahuan yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam proses inovasi terjadi kegiatan mengkomunikasikan pengetahuan baru di masyarakat. Menurut Rogers (1983;10)[1], mengatakan bahwa ada 4 unsur yang selalu ada dalam difusi inovasi, yaitu (1) Inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) Waktu, dan (4) sistem sosial. Keempat unsur ini berlangsung dalam sistem yang simultan, dimana masing-masing sistem itu berhubungan satu dengan lainnya selama proses difusi inovasi itu berlangsung.

Inovasi berkaitan dengan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang dan masyarakatnya. Konsep baru ini terbentang antara konsep pengenalan, persuasi, dan keputusan menggunakan inovasi tersebut.

Difusi inovasi juga berhubungan dengan rentang waktu yang berlalu selama difusi inovasi berlangsung. Difusi inovasi berlangsung pada sistem sosial sudah mulai terbuka dengan ide-ide baru, paling tidak ditandai dengan perubahan wawasan, pandangan, sikap, dan baru masuk pada perubahan perilaku

Menurut Ritzer (1996;241)[2], informasi yang diperoleh individu dari lingkungannya yang lebih luas menghasilkan ebergi yang luar biasa untuk membuat seseorang berubah. Inovasi dimulai dengan pengenalan terhadap sebuah infromasi. Ciri pengenalan tergantung pada kharakteristik ciri sosial-ekonomi, ciri kepribadian, dan perilaku komunikannya. Individu yang ciri sosial-ekonominua lebih baik akan lebih mudah mengenal obyek-obyek inovasi. Individu memiliki kepribadian perilaku komunikasi yang cenderung lebih banyak mengetahui obyek-obyek inovasi secara transparan dan lebih banyak. Mengenal obyek inovasi menjadi syarat ia memasuki tahap persuasi, dimana dalam tahap ini ia membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi.

  1. Konseptualisasi Capital Producing Journalism

Pada era sekarang kita tidak dapat lagi memandang media massa hanya dalam pandangan Ilmu Komunikasi saja, yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu alat penyampai pesan saat proses ‘tukar-menukar’ pesan terjadi antara komunikator dan komunikan. Pendekatan Capital Producing Journalism, menggunakan perspektif atau cara pandang ekonomi politik untuk menelaah media massa, dalam hal ini komunikator adalah para praktisi media massa, sedangkan komunikan adalah audience (pembaca koran, pemirsa televisi, pendengar radio). Hal yang paling menakjubkan, bahwa audience sebagai komunikan, bukan saja dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari berita, tetapi lebih difungsikan selayaknya konsumen yang sedang berada dipasar bisnis media massa, yang pola kehidupannya bisa mengatur dan diatur oleh isi berita dalam media massa dan dapat pula ‘dipenetrasi’ dengan sebegitu rupa oleh media massa melalui isi berita yang disajikan.

Secara ikhwal, yang berkaitan dengan berita merupakan masalah sentral dalam kehidupan jurnalistik. Anggapan awal bahwa pembaca ‘berani’ membayar untuk sebuah berita, bahwa semakin tinggi sebuah nilai berita, maka semakin besar kemungkinan dibaca khalayak pembacanya, menjadikan industri media massa berkembang pesat. Media massa dianggap sebagai produsen, sedangkan pembaca dianggap sebagai konsumen. Dan tentu saja sebagai produsen dengan pesaing-pesaing yang sama hebatnya, maka media massa harus mempunyai kekuatan atas pergerakan teknologi informasi dan padat modal, sehingga berimbas pada Capital Producing Journalism, sedangkan Kajian Ekonomi-politik pers malah menganggap bahwa dengan Capital Producing Journalism institusi pers dapat memiliki kekuatan penekan (Pressure group) yang otonom atas kebijakan-kebijakan politik. Kenyataan yang dapat dikaitkan dengan hal ini, misalnya, pengawasan pers yang dilakukan oleh rezim Orba. Dibawah sistem politik yang pemerintahannya menjalankan sistem pers kekuasaan, pers tidak leluasa menjalankan kebebasannya. Untuk mempertahankan kekuasaan rezim, berita-berita yang dimuat di media haruslah seirama dengan kebijakan- kebijakan rezim yang berkuasa. Secara ideal seharusnya tidak boleh terjadi ada kepentingan diluar pers yang ikut mempengaruhi apa yang diberitakan oleh media atau mempengaruhi berita yang telah dikumpulkan secara obyektif oleh wartawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu banyak kekuatan besar yang senantiasa berusaha mempengaruhi pemberitaan yang ada dalam media massa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau rezim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, denyut nadi tubuh media massa adalah iklan. Dengan iklan yang banyak, maka semua teknologi informasi dapat segera dikuasai, sehingga mereka juga dengan cepat akan ‘menguasai’ bahkan meng-create selera pasar bahkan trend pada audience sebagai konsumen. Unsur inilah yang biasanya menjadi pengekang utama kebebasan pers. Bagaimana sebuah institusi pers harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bisnis dengan orientasi profit sebagai pemasang iklan yang menjadi penopang kelangsungan hidup media bersangkutan.

Tak seorangpun akan percaya bahwa kepemilikan atas media tidak pernah mewarnai pemilihan berita[3]. Sebuah fakta yang kemudian disodorkan lebih lanjut, pada sebuah surat kabar di Amerika Selatan yang sebagian besar dimiliki oleh kepentingan perusahaan kereta api pernah mengumumkan pada staff-nya bahwa berita tentang kereta api yang “keluar”dari rel-nya bukanlah sebuah berita bagi koran setempat, sedangkan sikap masa’ bodoh pemerintah atas keadaan buruh dan desakan menggunakan ruangan di surat kabar bagi kepentingan pribadi dan kepentingan institusional hampir bersifat umum dalam pers Amerika. Sedangkan di Indonesia dapat dilihat dari struktur kerja pemberitaan, dimana sebuah tim redaksi juga “merangkap” sebagai tim marketing. Hal ini mengindikasikan bahwa Capital Producing Journalism telah melahirkan sebuah pemahaman baru yang meletakkan komunikator dan komunikan dalam media massa bukan saja dilpandang sebagai penyaji berita dan penerima berita, tetapi dipandang sebgai produsen dan konsumen, yang tentu saja berimbas pada Money Oriented, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi kelayakan berita dan kebebasan pers.

3. Implikasi-implikasi Teoritik

Dengan adanya perkembangan teknologi dan berbagai inovasi dalam industri media, khususnya pada televisi dapat mengubaha tatanan masyarakat yang irasional menjadi rasional, tetapi kemudian dibalikkan lagi menjadi irasional dengan memberikan suguhan berupa acara yang berimplikasi pada munculnya sebuah realitas buatan. Meskipun terpaan realitas buatan karena konstruksi teknologi media ini tidak hanya pada masyarakat yang buta huruf, tetapi juga pada masyarakat yang sudah melek media.

Dengan acuan berbagai invensi dan inovasi yang ada dalam industri media, sehingga dapat kita katakan bahwa siapapun yang bisa berinvestasi, maka ia akan menajdi kuat dan bertahan. Hal ini menjadikan perubahan tatanan fungsi jurnalisme menjadi Capital Producing Journalism, sehingga tidak dapat dihincari juga adanya sebuah kristalisasi industri media, dan hal ini berimplikasi pada adanya sikap saling “menjegal” pada industri tersebut, adanya kompetisi, aliansi, sigergasi, kode etik yang dilindas, persaingan wartawan yang ketat, dan semakin kapitalisnya hubungan antara perusahaan industri media tersebut dengan pengiklan.

Daftar Pustaka :

- Bungin Burhan, Prof,Dr. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. 2006. Kencana. Jakarta

Kusumaningra Hikmat, Purnama., Jurnalistik : Teori dan Praktek. 2005. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung


[1] Burhan bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Mayarakat, Hal 150

[2] Ibid, hal 153.

[3] Pendapat Hikmat Kussumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang berprofesi sebagai wartawan senior dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2005;95)

Iklan bedak "Pigeon "dengan telaah semiotika

A. Semiotika

Kata Van Zoest[1], manusia adalah homo semioticus. Artinya, manusia mampu membuat tanda dengan memberitahukan sesuatu, menyepakati makna dari sesuatu, apa saja, sebagai tanda.

Doede Nauta[2], menganggap semiotika (bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin ilmu yang paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia menganggap sistem konseptual signal-sign-symbol disatu sisi, dengan syntactics-semantics-pragmatics di lain pihak sebagai hal yang sangat penting dalam proses informasi, karena sistem ini berasal dari semiotika. Tanda-tanda adalah dasar dari seluruh komunikasi. Dengan perantara tanda-tanda manusia bisa melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Dalam kajian semiotika komunikasi, menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor: (1) pengirim, (2) penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan)[3]. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika atau menurut Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana humanity memaknai things. Memaknai tidak dapat diartikan sebagai mengkomunikasikan, karena memaknai dalam hal ini berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, ketika obyek-obyek tersebut masuk dalam proses komunikasi, tetapi juga mengkonsistusi sistem terstruktur dari tanda didalamnnya. Tanda, menandakan sesuatu selain tanda itu sendiri, dan makna merupakan hubungan satu objek atau ide suatu tanda.

B. Semiologi Roland Barthes.

Menurut Barthes[4], hal yang ingin dicari dalam pendekatan semiotika bukan lagi esensi atau objek pada dirinya sendiri (tanda) itu, melainkan hanya simulacrum dari obyek yang kita teliti. Dari obyek kita tidak bisa mendapat atau melakukan apa-apa, kecuali jika kita melakukan simulasi sedemikian rupa, sehingga kita bisa menjelaskan mengapa obyek dapat kita sebut sebagai obyek. Barthes melihat juga proses pemaknaan dalam obyek yang sedang kita periksa, sehingga obyek menjadi obyek. Sesuatu menjadi obyek bagi seseorang, karena sesuatu itu mempunyai makna bagi seseorang itu. Hubungan orang itu dengan obyek adalah hubungan pemaknaan, obyek tidak lagi dilihat sebagai Gegen-Stand (yang-berdiri-berhadapan).

Dalam pembahasan tentang tanda, Barthes mulai dengan pernyataan Saussurean bahwa signifier dan signified adalah komponen-komponen tanda. Barthes melakukan pembedaan trikotomis tentang tanda, hal ini berbeda dengan pembedaan dikotomis yang dilakukan oleh para linguis sebelum Saussure.

Signification dan Sign. “The signification can be conceived as a process; it is the act which binds the signifier and the signified, an act whose product is the sign” kata Barthes[5].Menurut Barthes signification adalah “hal menunjuk“ signifier pada signified. Dari pendapatnya diatas dapat diketahui bahwa, dia tidak menekankan aspek aktif dari signifier dalam menunjuk signified, ( karena ia lebih memilih netral “binds” (bukan “signifies” atau “act”), melainkan hubungan aktif dari keduanya. Dalam semiologi konsep signification ini perlu diingat karena dalam mencari fungsi dari sistem signifikasi, kadang-kadang kita harus mencari signified, karena signifier belum jelas, demikian pula sebaliknya. Dalam sistem konotasi, seorang harus mencari signified, karena signifier sudah diketahui. Dalam analisis semiotik, kita mencari berbagai hubungan yang menyatukan antara signifieds dan signifiers

John Fiske menyatakan bahwa pokok perhatian semiotika adalah tanda. Studi tentang tanda dan cara-cara tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Searah dengan Barthes, semiotika mempunyai tiga bidang studi utama[6], yaitu:

  1. Tanda itu sendiri, Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia menggunakannya.
  2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup berbagai cara kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk menstransmisikannya.
  3. Kebudayaan tempat kode itu bekerja.

Ini pada giliranya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi juga hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain kehidupan sosial apapun bentuknya merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula [7]

Seperti yang telah dijelaskan di atas, suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara suatu obyek atau ide dan tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, bentuk-bentuk non verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. [8]

Dalam semiotika penerima dan pembaca dipandang memainkan peran yang lebih aktif. Semiotika lebih suka memilih istilah “pembaca” untuk “penerima” karena hal tersebut secara tak langsung menunujukan derajat aktifitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Karena itu pembacaan ditentukan oleh pengalaman cultural, sikap, dan emosinya terhadap teks tersebut.[9]

Menurut Alex Sobur, semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak keluar dari tata bahasa dan sintaksis yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal itu kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (Connotaive) dan arti penunjukan (denotative), Kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. [10]

Menurut Barthes, tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif, tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.[11]

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum, serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makan harafiah, makna yang “sesungguhnya”, Bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi dan acuan.

Akan tetapi dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna[12]. Signifikasi tingkat pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap relitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tingkat kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan persaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi merupakan makna yang subyektif atau paling tidak inter subyektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. [13]

Dalam kerangka Roland Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan atau memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tingkat kedua.

Mitos adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin menjadi obyek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan, yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu.[14]

C. Elemen-elemen dalam Iklan

1. Teks (Tampilan Visual Iklan)

Gambar

Iklan Produk Kosmetik Bedak “Pigeon”

Titik sentral yang paling menonjol dari iklan produk kecantikan berupa bedak ini, sama dengan iklan-iklan produk kosmetika wajah yang lain, yakni wajah perempuan belia cantik, kulit putih mulus dan cerah, tanpa terlihat noda, jerawat bahkan tahi lalat. Mata lebar nan bening, alis tebal melengkung rapi, hidung mancung, dan bibir tipis yang sedang tersenyum. Riasan terkesan natural, tidak begitu menor atau mencolok, warna lipstik, eye shadow, dan blush on juga berwarna kalem. Matanya berbinar. Mulutnya tersenyum tipis, tidak begitu lebar. Rambut model digerai biasa, namun terlihat sedikit ada sentuhan bentukan rambut dengan model masa kini. Diatas rambut juga terdapat banyak sekali kelopak bunga mawar berwarna picth. Riasan rambut dengan kelopak bunga mawar bertebaran ini menambah kesan yang tidak lagi biasa, atau sedikit mewah.

Aksesoris yang dipakai berupa jepit pada tengah rambut berupa angka 12, anting pada telinga sebelah kanan berupa angka 9, anting pada telinga sebelah kiri berupa angka 3. Dan memakai kalung berliontinkan angka 6. Angle foto close up sebatas dada. Model tidak terlihat mengenakan atasan, sehingga terlihat lehernya yang jenjang.

Warna dasar dari gambar adalah putih bersih , dibingkai pada sisi atas dan bawah dengan warna merah. Pada bingkai bawah yang berwarna merah dituliskan pula simbol produk dan alamat produsen bedak ini.

2. Keyword/ Slogan

Tagline-nya bertuliskan ‘PRETTY BABE ANYTIME!”, dibawahnya dituliskan text “Dengan formula seaman bedak bayi, biarkan cantikmu bersemi. Piegon Compact Powder (ditulis dengan Bold) menjaga kecantikan dan kelembutan kulitmu. Tampilkan pesona kulit cantikmu, secantik wajah beliamu”. Menegaskan kembali bahwa produk kosmetik merk Pigeon ini awalnya adalah kosmetik/ bedak bayi, dan sekarang memproduksi sebuah produk kosmetik berupa bedak yang aman digunakan oleh kulit-kulit muda belia.

D. Intepretasi Iklan Kosmetik Bedak “Pigeon”

Umumnya, perempuan dalam iklan kosmetik direpresentasikan berwajah cantik, apalagi di Indonesia yang masyarakatnya sangat menyukai wajah perempuan yang berkulit kuning langsat dan putih. Makna yang ingin dikesankan dalam iklan ini adalah perempuan harus terlihat cantik dan segar setiap saat. Mulai dari simbol-simbol angka 12,3,6,9, yang berurutan “diletakkan” pada jepit rambut, anting ditelinga sebelah kiri, liontin kalung, dan anting pada telinga sebelah kanan. Tanda-tanda melalui “angka-angka” dan posisi yang dipilih pada gambar mengesankan angka-angka yang ditunjuk oleh jarum jam. Angka-angka yang terdapat dalam jam ditafsirkan sebagai “waktu yang terus berjalan” seperti jarum jam yang tak pernah berhenti berdetak, yang kemudian, jika digabungkan dengan riasan yang serba natural, khas perempuan belia, begitu juga dengan slogannya “Pretty Babe Anytime!” juga dapat ditafsirkan sebagai “kecantikan perempuan belia di setiap saat.”. Berdasarkan semiotika Barthes, hal ini mengesankan mitos bahwa seorang perempuan cantik adalah perempuan yang memiliki kulit wajah yang putih bersih, tidak bernoda, tidak berkerut, tampil cantik dan menawan setiap saat, sehingga sangat menarik perhatian. Meskipun kecantikan bersifat sangat subyektif pada masing-masing individu, tetapi jika terdapat wajah muda, tanpa kerut, berkulit putih mulus tanpa noda dan segar, semua orang pasti akan mengkonotasikannya sebagai perempuan yang berwajah cantik.

Padahal perempuan yang tidak memiliki kriteria tersebut di atas, belum tentu sebagai perempuan yang cantik dan tidak menawan. Jarang sekali dalam iklan produk kosmetik dengan model seorang perempuan yang merepresentasikan keelokan hatinya misalnya saja, diambil angle foto seorang perempuan yang sedang menolong anak kecil yang jatuh dari sepeda, sehingga akan mengesankan bahwa “melihat” perempuan dengan konotasi cantik, bukan hanya dari fisiknya saja, tetapi juga kepribadiannya. Hal seperti inilah kadang-kadang yang membuat bias dalam masyarakat.

Citra yang selalu ingin ditonjolkan dalam iklan cetak sebuah produk kosmetik dengan sasaran tembak masyarakat di Indonesia, yang sebagian besar berkulit sawo matang, dan menyenangi kulit kuning langsat dan putih mulus (berbeda dengan masyarakat amerika latin, misalnya, yang beranggapan bahwa wanita dengan kulit kecoklatan terlihat lebih seksi dan menarik), sehingga Urusan rasial dalam iklan kosmetik memang seperti telah menjadi “icon” yang sulit untuk ditumbangkan. Memandang citra iklan kosmetika selalu berada pada gagasan ras, terutama hitam/ putih. Iklan produk ini memang seolah-olah ingin menjual “mimpi” pada khalayaknya.

Iklan ini juga terkesan sangat sederhana, karena space yang digunakan tidak terlalu ramai dan tidak banyak meletakkan elemen-elemen grafis. Sangat konsisten dengan “kesederhanaan” tata rias wajah model. Terdapat juga warna merah dibagian atas dan bawah, seolah-olah membingkai gambar, didalam “bingkai merah” tersebut tertera tulisan Pigeon beserta logonya., seolah-olah mengesankan daya tarik tersendiri, karena warna yang menyala terang. Background yang ada dalam iklan ini hanya berupa warna putih, dapat dimaknai sebagai dinding, seakan-akan mengesankan warna putih bersih seperti kulit perempuan belia dan tentu saja tujuan dari pemakaian alat kosmetik ini untuk mendapatkan kulit putih, muda setiap saat.


[1] Dalam buku Alex Sobur “Semiotika Komunikasi”; 2003, hal 13

[2] Ibid

[3] Jakobson (dalam Sobur; 2003 hal 15)

[4] Dalam “Semiotika Negativa” karya ST. Sunardi, 2002; hal 45

[5] Ibid, hal 49

[6] Dalam buku Cultural and Communication Studies, John Fiske; 2004, hal 60

[7] Dalam buku “Semiotika Roland Barthes” oleh Kurniawan, 2001:53

[8] Ibid, 2003: 15-16

[9] Ibid, 2004: 61

[10] Ibid, 2003: 126-127

[11] Ibid, 2003: 69

[12] Ibid, 2003: 70

[13] Ibid, 2002: 128

[14] Ibid 2001: 84