Sabtu, 22 November 2008

Capital Producing Journalism; Inovasi

1. Proposisi dan Asumsi-asumsi Teoritik Inovasi

Perubahan-perubahan sosial selalu dipengaruhi oleh hal-hal baru di masyarakat yang menciptakan suatu keadaan yang berbeda dengan keadaaan sebelumnya dalam sistem sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sebuah sistem sosial sebagai suatu kesatuan. Sesuatu yang baru yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat itu selalu berhubungan dengan difusi inovasi, dimana perubahan dipacu oleh penyebaran suatu pengetahuan yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam proses inovasi terjadi kegiatan mengkomunikasikan pengetahuan baru di masyarakat. Menurut Rogers (1983;10)[1], mengatakan bahwa ada 4 unsur yang selalu ada dalam difusi inovasi, yaitu (1) Inovasi, (2) saluran komunikasi, (3) Waktu, dan (4) sistem sosial. Keempat unsur ini berlangsung dalam sistem yang simultan, dimana masing-masing sistem itu berhubungan satu dengan lainnya selama proses difusi inovasi itu berlangsung.

Inovasi berkaitan dengan gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang dan masyarakatnya. Konsep baru ini terbentang antara konsep pengenalan, persuasi, dan keputusan menggunakan inovasi tersebut.

Difusi inovasi juga berhubungan dengan rentang waktu yang berlalu selama difusi inovasi berlangsung. Difusi inovasi berlangsung pada sistem sosial sudah mulai terbuka dengan ide-ide baru, paling tidak ditandai dengan perubahan wawasan, pandangan, sikap, dan baru masuk pada perubahan perilaku

Menurut Ritzer (1996;241)[2], informasi yang diperoleh individu dari lingkungannya yang lebih luas menghasilkan ebergi yang luar biasa untuk membuat seseorang berubah. Inovasi dimulai dengan pengenalan terhadap sebuah infromasi. Ciri pengenalan tergantung pada kharakteristik ciri sosial-ekonomi, ciri kepribadian, dan perilaku komunikannya. Individu yang ciri sosial-ekonominua lebih baik akan lebih mudah mengenal obyek-obyek inovasi. Individu memiliki kepribadian perilaku komunikasi yang cenderung lebih banyak mengetahui obyek-obyek inovasi secara transparan dan lebih banyak. Mengenal obyek inovasi menjadi syarat ia memasuki tahap persuasi, dimana dalam tahap ini ia membentuk sikap suka atau tidak terhadap inovasi.

  1. Konseptualisasi Capital Producing Journalism

Pada era sekarang kita tidak dapat lagi memandang media massa hanya dalam pandangan Ilmu Komunikasi saja, yang mengatakan bahwa media massa merupakan salah satu alat penyampai pesan saat proses ‘tukar-menukar’ pesan terjadi antara komunikator dan komunikan. Pendekatan Capital Producing Journalism, menggunakan perspektif atau cara pandang ekonomi politik untuk menelaah media massa, dalam hal ini komunikator adalah para praktisi media massa, sedangkan komunikan adalah audience (pembaca koran, pemirsa televisi, pendengar radio). Hal yang paling menakjubkan, bahwa audience sebagai komunikan, bukan saja dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari berita, tetapi lebih difungsikan selayaknya konsumen yang sedang berada dipasar bisnis media massa, yang pola kehidupannya bisa mengatur dan diatur oleh isi berita dalam media massa dan dapat pula ‘dipenetrasi’ dengan sebegitu rupa oleh media massa melalui isi berita yang disajikan.

Secara ikhwal, yang berkaitan dengan berita merupakan masalah sentral dalam kehidupan jurnalistik. Anggapan awal bahwa pembaca ‘berani’ membayar untuk sebuah berita, bahwa semakin tinggi sebuah nilai berita, maka semakin besar kemungkinan dibaca khalayak pembacanya, menjadikan industri media massa berkembang pesat. Media massa dianggap sebagai produsen, sedangkan pembaca dianggap sebagai konsumen. Dan tentu saja sebagai produsen dengan pesaing-pesaing yang sama hebatnya, maka media massa harus mempunyai kekuatan atas pergerakan teknologi informasi dan padat modal, sehingga berimbas pada Capital Producing Journalism, sedangkan Kajian Ekonomi-politik pers malah menganggap bahwa dengan Capital Producing Journalism institusi pers dapat memiliki kekuatan penekan (Pressure group) yang otonom atas kebijakan-kebijakan politik. Kenyataan yang dapat dikaitkan dengan hal ini, misalnya, pengawasan pers yang dilakukan oleh rezim Orba. Dibawah sistem politik yang pemerintahannya menjalankan sistem pers kekuasaan, pers tidak leluasa menjalankan kebebasannya. Untuk mempertahankan kekuasaan rezim, berita-berita yang dimuat di media haruslah seirama dengan kebijakan- kebijakan rezim yang berkuasa. Secara ideal seharusnya tidak boleh terjadi ada kepentingan diluar pers yang ikut mempengaruhi apa yang diberitakan oleh media atau mempengaruhi berita yang telah dikumpulkan secara obyektif oleh wartawan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Begitu banyak kekuatan besar yang senantiasa berusaha mempengaruhi pemberitaan yang ada dalam media massa demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau rezim.

Tidak bisa dipungkiri bahwa, denyut nadi tubuh media massa adalah iklan. Dengan iklan yang banyak, maka semua teknologi informasi dapat segera dikuasai, sehingga mereka juga dengan cepat akan ‘menguasai’ bahkan meng-create selera pasar bahkan trend pada audience sebagai konsumen. Unsur inilah yang biasanya menjadi pengekang utama kebebasan pers. Bagaimana sebuah institusi pers harus berhadapan dengan kelompok-kelompok bisnis dengan orientasi profit sebagai pemasang iklan yang menjadi penopang kelangsungan hidup media bersangkutan.

Tak seorangpun akan percaya bahwa kepemilikan atas media tidak pernah mewarnai pemilihan berita[3]. Sebuah fakta yang kemudian disodorkan lebih lanjut, pada sebuah surat kabar di Amerika Selatan yang sebagian besar dimiliki oleh kepentingan perusahaan kereta api pernah mengumumkan pada staff-nya bahwa berita tentang kereta api yang “keluar”dari rel-nya bukanlah sebuah berita bagi koran setempat, sedangkan sikap masa’ bodoh pemerintah atas keadaan buruh dan desakan menggunakan ruangan di surat kabar bagi kepentingan pribadi dan kepentingan institusional hampir bersifat umum dalam pers Amerika. Sedangkan di Indonesia dapat dilihat dari struktur kerja pemberitaan, dimana sebuah tim redaksi juga “merangkap” sebagai tim marketing. Hal ini mengindikasikan bahwa Capital Producing Journalism telah melahirkan sebuah pemahaman baru yang meletakkan komunikator dan komunikan dalam media massa bukan saja dilpandang sebagai penyaji berita dan penerima berita, tetapi dipandang sebgai produsen dan konsumen, yang tentu saja berimbas pada Money Oriented, yang pada akhirnya dapat pula mempengaruhi kelayakan berita dan kebebasan pers.

3. Implikasi-implikasi Teoritik

Dengan adanya perkembangan teknologi dan berbagai inovasi dalam industri media, khususnya pada televisi dapat mengubaha tatanan masyarakat yang irasional menjadi rasional, tetapi kemudian dibalikkan lagi menjadi irasional dengan memberikan suguhan berupa acara yang berimplikasi pada munculnya sebuah realitas buatan. Meskipun terpaan realitas buatan karena konstruksi teknologi media ini tidak hanya pada masyarakat yang buta huruf, tetapi juga pada masyarakat yang sudah melek media.

Dengan acuan berbagai invensi dan inovasi yang ada dalam industri media, sehingga dapat kita katakan bahwa siapapun yang bisa berinvestasi, maka ia akan menajdi kuat dan bertahan. Hal ini menjadikan perubahan tatanan fungsi jurnalisme menjadi Capital Producing Journalism, sehingga tidak dapat dihincari juga adanya sebuah kristalisasi industri media, dan hal ini berimplikasi pada adanya sikap saling “menjegal” pada industri tersebut, adanya kompetisi, aliansi, sigergasi, kode etik yang dilindas, persaingan wartawan yang ketat, dan semakin kapitalisnya hubungan antara perusahaan industri media tersebut dengan pengiklan.

Daftar Pustaka :

- Bungin Burhan, Prof,Dr. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. 2006. Kencana. Jakarta

Kusumaningra Hikmat, Purnama., Jurnalistik : Teori dan Praktek. 2005. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung


[1] Burhan bungin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Mayarakat, Hal 150

[2] Ibid, hal 153.

[3] Pendapat Hikmat Kussumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang berprofesi sebagai wartawan senior dalam bukunya Jurnalistik Teori dan Praktik (2005;95)

Tidak ada komentar: